Hari Guru dan Tugas Kita

Hari Guru sering dirayakan dengan rangkaian acara seremonial, pidato panjang, pemberian bunga, dan unggahan media sosial yang penuh pujian. Namun di balik semua itu, ada satu kenyataan yang tak boleh kita abaikan, yaitu profesi guru masih belum mendapatkan penghormatan sosial dan kesejahteraan yang sepadan dengan peran besarnya. Kita memuji guru setiap tahun, tetapi apakah kita sungguh-sungguh berupaya mengembalikan martabat mereka di mata bangsa?

Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, menuntun cara berpikir, dan menanamkan nilai-nilai moral. Di ruang kelas, mereka menjadi orang tua kedua, di luar kelas, mereka menjadi teladan yang diam-diam diamati muridnya. Namun ironi muncul ketika pekerjaan sebesar itu sering tidak diimbangi dengan penghargaan yang layak. Banyak guru masih berjuang dengan gaji yang minim, status kepegawaian yang tidak pasti, fasilitas sekolah yang terbatas, serta beban administrasi yang menumpuk. Mereka mengajar sambil mengurus laporan, mengisi data digital yang tak pernah selesai, hingga meladeni berbagai tuntutan sistem yang kadang tidak masuk akal.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah pergeseran cara kita memandang profesi pendidikan. Di masyarakat modern, profesi sering diukur dari seberapa besar nilai ekonominya. Guru, yang bekerja dalam dunia pengetahuan dan tidak memiliki produk material, sering dianggap “biasa saja” bahkan oleh sebagian murid dan orang tua. Padahal, tidak ada profesi yang lahir tanpa sentuhan guru. Dokter, insinyur, hakim, pemimpin negara, semuanya bermula dari ruang kelas yang dibimbing oleh seseorang yang mungkin tak pernah mereka ingat namanya.

Hari Guru seharusnya bukan hanya momentum untuk berterima kasih secara simbolis, tetapi kesempatan untuk bercermin, apakah kita, sebagai masyarakat, sudah memperjuangkan martabat guru? Apakah pemerintah sudah menyediakan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada kesejahteraan dan kualitas hidup mereka? Apakah sekolah sudah menempatkan guru sebagai pusat pengembangan pendidikan, bukan sekadar pelaksana kurikulum? Dan apakah orang tua sudah menjadi mitra, bukan hanya pemberi tuntutan?

Untuk mengembalikan harga diri profesi pendidikan, kita perlu melakukan beberapa perubahan mendasar. Diantaranya menghapus stigma bahwa menjadi guru adalah pilihan terakhir. Narasi sosial harus digeser, guru adalah profesi intelektual yang menuntut kompetensi tinggi, kepekaan moral, serta komitmen jangka panjang. Penguatan narasi ini harus dimulai dari keluarga, media, hingga institusi pendidikan.

Memberikan ruang bagi guru untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pelaksana kebijakan. Mereka perlu diberi suara dalam perumusan kurikulum, evaluasi sistem, dan perbaikan model pembelajaran. Siapa yang lebih memahami kebutuhan murid jika bukan orang yang setiap hari bersama mereka?

Oleh karena itu, mengembalikan harga diri profesi guru adalah tugas kolektif. Tidak bisa hanya diserahkan kepada negara atau sekolah. Semua orang, baik orang tua, mahasiswa, masyarakat, bahkan murid-murid kecil di ruang kelas punya peran dalam membangun penghormatan itu. Hari Guru bukanlah akhir dari perayaan, ia adalah awal dari komitmen jangka panjang untuk menempatkan guru pada posisi yang selayaknya, terhormat, dihargai, dan dipercaya sebagai pilar peradaban.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan