Saya yakin setiap orang memiliki keterbatasan masing-masing dalam pengetahuan, dan belajar adalah solusi mengatasinya. Baik itu untuk mengisi kekosongan atau melengkapi pengetahuan yang ada.
Misalnya, apakah kita hidup sebab pilihan atau paksaan dari sesuatu? Yang jelas, kita hidup melalui melalui hubungan biologis dan butuh beberapa pilihan untuk melanjutkan hidup. Termasuk, memilih mati sebab tidak mampu atau tidak mau dipaksa sesuatu. Dan jika hidup adalah paksaan, maka dari mana keterpaksaan berujung dari hubungan biologis itu? Namun, jika hidup adalah pilihan, mungkinkah kita lupa bahwa kita telah memilih untuk hidup?
Hidup dalam Polemik Kenyataan
Martin Suryajaya dalam Channel YouTube-nya menguraikan bahwa kenyataan atau alam kehidupan adalah kumpulan kesan indrawi yang disimulasikan. Dalam sebuah content berjudul “Dunia adalah Simulasi?” yang terposting 6 Desember 2020, ia mengatakan bahwa hipotesis matrik atau dunia simulasi memiliki sejarah yang panjang.
Namun, di era kontemporer, hipotesis itu dikembangkan oleh Nick Bostrom dengan memanfaatkan adanya kecerdasan buatan (AI) yang memiliki proses kognitif dan pengalaman melalui sistem yang dirancang secara berulang dan konsisten. Seperti dalam dunia game, misalnya, di mana dunia itu beroperasi layaknya kehidupan kita sendiri.
Maka dari itu, Bostrom memandang bahwa kenyataan yang kita hadapi mungkin adalah AI yang diciptakan oleh suatu entitas tersembunyi. Sebab, bukan tidak mungkin kecerdasan buatan itu akan berkembang melalui konsistensi pengalaman, kemudian menciptakan dunia game lain, dan bahkan mungkin mengalahkan sang pembuat game.
Pandangan ini, menurut Martin, bermasalah pada komposisi dari sistem dunia game yang ternyata bisa mengalami error dan semacamnya yang tidak ada dalam dunia kita.
Kemudian, dalam sebuah artikel berjudul “What Is Simulation Theory? Are We Living in a Computer Simulation?” Mike Thomas menyuguhkan beberapa antitesis tentang hal itu. Bahwa, jika segala yang kita ketahui adalah simulasi, maka simulator pasca-manusia membutuhkan banyak sekali komputasi untuk itu, dan tidak terbayangkan teknologi macam apa yang mengoperasikan komputer sebanyak itu.
Sementara, adanya teknologi yang mampu mendeteksi dan bahkan menghentikan gejala alam berarti juga meniscayakan pemberhentian simulasi secara mendadak sebelum simulator menciptakan dunia yang lain yang pada akhirnya kenyataan adalah kosong.
Masalahnya, tidak ada bukti logis bahwa kenyataan ini bukan simulasi. Artinya, jika sistem itu terstruktur, kemiripan antara dua dunia tentu niscaya bahkan tanpa disadari oleh makhluk dalam dunia itu. Dalam filsafat, dikenal prinsip Gottfried Leibniz tentang Identity of The Indiscernible yang artinya jika dua objek memiliki sifat tidak bisa dibedakan, maka sejatinya itu adalah satu.
Dengan demikian, kenyataan dapat disebut sebagai hierarki kausal yang bertumpu pada logika formal dan non-material, yakni simulasi atau gambaran suatu sistem dari satu realitas logis yang formal. Terlihat tidak beda jauh dengan pandangan bahwa kenyataan adalah ide, bayang-bayang, juga ilusi. Namun dunia simulasi terlihat universal serta didukung dengan fenomena baru dalam gaya hidup hari ini.
Kebenaran Kolektif
Sampailah pada problem tua yang sering membingungkan banyak pemikir, “Apa yang menciptakan sang pencipta?”
Bahkan dalam realitas simulasi, jawaban yang tersedia adalah kejadian yang sama seperti proses simulasi sebelumnya. Ya, hipotesis simulasi sebenarnya juga meniscayakan postulat yang cenderung fiktif sebagai entitas fundamental dan tidak ada bedanya dengan polemik ketuhanan. Dalam hal ini, perlu kiranya kita meninjau perspektif kegunaan dari entitas yang kebetulan juga dibahas Martin Suryajaya dalam konten berjudul “Apakah Tuhan Perlu Ada?” pada 16 Maret 2021.
Sebagaimana maklum, bahwa Tuhan tidak lain entitas yang-Maha, tidak berniat buruk-guna di akhir hidup manusia. Martin mengatakan, bahwa bukti Tuhan tidak perlu ada, adalah benar bahwa segala sesuatu ini digerakkan oleh hukum alam yang memiliki regulasi dengan hukum sosial secara rekursif, sekaligus mampu memberi makna dari akhir hidup manusia dengan konsep moral sebagai pilihan. Namun, sebagai pilihan estetik, adanya Tuhan juga masuk akal dalam regulasi hukum alam. Sehingga ada dan tidak adanya Tuhan juga bisa dikatakan sebagai bagian dari kebenaran kolektif.
Dari sini, hidup sebagai pilihan terlihat menjadi asumsi yang lebih elegan daripada asumsi paksaan dan simulasi. Demikian, karena entitas dasar dari itu semua juga sama-sama ditopang oleh hierarki kausal dari satu realitas formal yang logis.
Meski, hukum alam sendiri masih banyak menyisakan jawaban yang kurang memuaskan dalam menghadapi gejala baru di luar kebiasaan alam dan manusia. Sedang hipotesis Tuhan, kerap berkelindan dengan hal-hal irasional yang hanya bisa dikonfirmasi lewat iman yang tidak universal.