Konflik agama terus menjadi konsumsi generasi milenial. Mereka membaiatkan diri ke dalam komunitas hijrah yang selalu melemparkan gagasan-gagasan untuk menggoyahkan keimanan yang dianggapnya berbeda pandangan dengan mereka. Fanatisme berhijrah menjangkit nafsu dan ego untuk merendahkan orang lain, bahkan sesama saudaranya sendiri.
Kondisi tersebut terjadi sebab media sosial menjadi sarana pendukung utama untuk menunjukan eksistensi ustaz-ustaz sunah yang kemudian diikuti oleh ribuan orang di jagad maya. Doktrin tentang ideologi kebencian dan sikap saling menyalahkan dianggap biasa dalam rangka ikhtiar memerangi kelompok yang dianggapnya sesat atau menyimpang.
Adu argumen atau perdebatan ilmiah seakan menjadi hal yang sia-sia ketika salah satu pihak merasa paling benar dan pihak lainnya harus mengakui kesalahannya. Baginya paham yang diyakini hukumnya mutlak untuk dipertahankan, meski kadang sedikit kontradiktif dengan hati nuraninya sendiri.
Hijrah bukan lagi dimaknai prosesi perubahan perilaku maksiat menuju ibadah. Lebih dari itu, hijrah menjadi sebuah entitas untuk menggalang masa yang barangkali bisa menjadi people power menegakkan misi kelompoknya. Alih-alih dengan menawarkan keindahan dalam beragama, mereka cenderung aktif mencari bahan untuk menjadi argumen menyalahkan amalan atau ibadah kelompok lain.
Metode ini cukup mengesankan bagi orang awam yang minim literasi atau kajian, sehingga diksi Islam yang tunggal, menjalankan sunah, dan ketauhidan sering dijadikan media kampanye untuk merekrut jemaah di media sosial. Belum lagi tentang iming-iming surga, bidadari, dan kenikmatan surgawi menjadi seorang muslim dengan menjauhi segala hal yang dituduhkan bidah atau syirik.
Ketika doktrin ideologi dirasa sudah merasuk dalam alam bawah sadar pengikutnya, kaum hijrah tersebut selanjutnya menghimpun masa dan argumen-argumen non-ilmiah untuk menyatukan pendapatnya. Konflik horizontal sesama muslim pun tidak dapat dihindarkan. Tidak ada lagi pesan bijak menjaga ukhuwah islamiyah, asal berbeda mereka layak untuk disalahkan, bahkan disesatkan.
Jalan Lurus
“Tunjukanlah kami jalan yang lurus” (Qs. Al-Fatihah: 6)
Dalam setiap salat, kita diwajibkan untuk membaca surat Alfatihah yang di dalamnya ada kalimat, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”. Ayat tersebut seharusnya menjadikan kita lebih rendah hati. Tidak gampang menghakimi kesalahan yang lain dan merasa paling benar sendiri. Sejatinya setiap individu atau kelompok atau mazhab mempunyai tafsir dan landasan fikih masing-masing.
Merasa diri salah adalah perwujudan diri sebagai hamba yang penuh dengan kesalahan dan kelemahan. Manusia hanya diberikan rambu untuk senantiasa menjalankan perintah dan larangan-Nya sesuai kaidah pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Utamanya untuk menjadi khalifah di bumi dengan menjaga keharmonisan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain.
Jangan-jangan dengan kita berhijrah malah menjadikan lupa diri menjadi manusia, sehingga terkesan menjadi “tuhan” dalam setiap hal yang diyakini kebenarannya. Manusia adalah tempatnya salah, dengannya kita selalu meminta untuk ditunjukkan jalan yang lurus. Jalan yang diridai, bukan jalan yang dimurkai.
Pemahaman dakwah juga mesti diluruskan. Bahwa dakwah itu mengajak seseorang untuk kembali ke jalan yang lurus. Tanpa paksaan, tanpa menyalahkan, dan tanpa membenci karena adanya perbedaan pandangan. Toh, kita juga sama-sama tidak tahu siapa yang kelak diridai oleh Allah dalam melaksanakan tugasnya di muka bumi.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa kesombongan hanya milik Allah. Jangan mengambil kesombongan dari-Nya untuk menghakimi sesama. Setiap kebenaran yang diyakini manusia hanyalah langkah untuk menuju kebenaran yang sejati. Untuk mencapainya ada banyak jalan, tidak harus dengan menyalahkan jalan yang berbeda dengan kita.
Seharusnya hijrah menjadikan mawas diri, merasa tidak mampu dan fakir ilmu. Dengan introspeksi diri, kita bisa belajar agama seluas-luasnya tanpa sekat ilmu pengetahuan karena kadung bertaklid dengan ustaz idola. Memahami hakikat perbedaan dengan jutaan tafsir di dalamnya. Belajar agama tidak instan, apalagi tega menyalahkan mereka yang belajar puluhan tahun di madrasah atau pondok pesantren. Masak iya, yang belajar agama setahun pantas menyalahkan ustaz atau kiai yang selama hidupnya menghibahkan diri belajar kitab di pesantren?
Seperti kutipan bijak dari KH Abdurrahman Wahid: “Semakin banyak ilmu, maka kamu akan semakin toleran!”