Pertama kali saya memasuki dunia pesantren, di PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, sekitar tahun 1988. Ada suasana sakral ketika awal-awal merasakan ruh pesantren. Terutama sekali, saat memasuki waktu salat maghrib. Aura alunan ayat-ayat al-Quran beserta zikir yang dimunajatkan para santri, membuat hati saya bergetar. Marwah kelindan kharisma pesantren benar-benar merasuk ke dalam sanubari. Mungkin, setiap santri baru juga merasakan sebagaimana yang saya rasakan. Ataukah tidak sama perasaan tiap orang? Entahlah!
Itu terjadi di awal-awal saya saya masuk dunia pesantren. Sebagai santri baru, tentu mengalami hal-hal kebaharuan yang membuat suasana hati berbeda. Tidak sama dengan saat masih berada di rumah, yang dalam keseharian sudah sangat biasa dan lumrah. Di pesantren terjadi iklim yang membuat hati saya larut dalam sakral nuansa religius. Hal seperti ini, terkadang membuat saya rindu pesantren. Ingin kembali nyantri agar sakral dunia santri kembali terjadi. Tapi ini hanya sebuah riak imajiner yang terkadang muncul secara tiba-tiba.
Di PP Annuqayah saya masuk MTs I Annuqayah. Tidak sesuai dengan awal rencana saya dari rumah, bahwa saya akan masuk di MTs II Annuqayah. Untuk lembaga yang kedua ini lokasinya berada jauh dari lokasi yang pertama.
Entah karena apa, paman saya yang juga mondok lebih awal di sana menyarankan saya untuk masuk di MTs I Annuqayah. Dan saya setuju saja saat itu. Padahal, dalam info awal yang saya terima, pelajaran di MTs I Annuqayah lebih komplit, lebih rumit, dan lebih menantang tentunya. Akhirnya, dengan hasil tes yang entah seperti apa, saya pun diterima di MTs I Annuqayah.
Di awal saya masuk, semula ruang kelas menempati beranda masjid. Hal ini karena lokasi kelas yang sudah tidak dapat menampung jumlah siswa. Nah, di ruang masjid inilah sebuah petaka yang berujung berkah terjadi. Saya telat sekitar satu atau dua pekan untuk masuk. Pas pertama kali masuk kelas, saya disuruh menghafal kaidah fikih (qawaidul fiqhiyah) yang telah diberikan minggu sebelumnya.
Karena saya telat, tentu saja saya kelagapan mendapat tugas tersebut. Saya yakin, guru tersebut, yang kemudian saya ketahui bernama Ustadz Mitsqala, tidak mengetahui kalau saya termasuk siswa baru.
Beliau kemudian mendekati saya dan mengatakan, “Kok tidak dihafal di pondok?” sambil menjewer telinga saya. Tidak keras memang, bahkan hampir-hampir tidak terasa. Namun pengaruh dari jeweran itu meliputi seluruh pemikiran dan seakan meremukkan tulang-tulang saya. Dalam hati saya berucap, “Pertemuan berikutnya saya harus bersiap.”
Benar saja, hari-hari berikutnya saya lewati dengan munajat doa dan belajar dengan sungguh-sungguh. Tidak pernah terlewatkan munajat di sepertiga malam. Saya mencoba mengejar pelajaran yang tertinggal. Dan puncaknya, saya bisa, bahkan melewati mereka-mereka yang telah lama bermukim di pesantren. Satu teman saya yang selalu membantu dalam hal pelajaran adalah M Shafwi HS. Teman ini satu kampung, satu kamar di pondok, dan satu kaum (kawan makan di pondok).
Hikmah di balik jewer adalah giat dalam muthala’ah, rajin belajar, dan munajat di sepertiga malam. Akhirnya, ketika sampai pada kenaikan kelas saya pun mendapat ranking kelas. Sebuah ikhtiar yang tidak sia-sia. Sebuah upaya yang membawa kepada keberhasilan.
Dari kisah ini dapat dijadikan ibroh bahwa kesuksesan itu diikuti oleh ikhtiar yang maksimal. Usaha, biasanya, tidak akan mencederai hasil. Meskipun hasil akhir tetap Tuhan yang menentukan. Orang mengatakan, “Man proposes but God disposes,” (manusia berencana tapi tuhan yang menentukan). Wallahu A’lam!