Hilangnya “Vibes” Ramadan Kita

47 views

Genap sebulan yang lalu, bulan Ramadan meninggalkan kita. Bermacam-macam cara kita melepas kepergiannya. Beberapa orang melepasnya dengan biasa-biasa saja, sedangkan yang lain melepasnya dengan penuh duka. Ada yang senang karena hari raya tiba, ada yang sedih karena bulan puasa terlewat begitu saja.

Satu hal yang menarik menurut saya adalah adanya orang-orang yang mengatakan bahwa vibes Ramadan kali ini sudah hilang. Mereka berkata, hari-hari di bulan Ramadan ini tak ubahnya seperti hari-hari di bulan lainnya. Kita hanya mengganti jam makan dan jam tidur saja. Tak ada atmosfer atau suasana yang khas Ramadan.

Advertisements

Jika kita merasa bahwa vibes Ramadan tahun ini hilang, menurut saya itu memang karena kita yang menghilangkannya. Mari kita ingat kembali, apa yang sudah mengisi bulan Ramadan kita pada tahun ini. Kita terlalu sibuk memperhatikan layar gawai selama dua puluh empat jam setiap hari. Sebelum Ramadan tiba, kita sudah mulai membuat story H- sekian Ramadan. Kita bersikap seolah-olah paling menunggu datangnya bulan suci tersebut. Saat masuk hari pertama Ramadan, kita sibuk mengunggah menu sahur pertama ke media sosial. Entah itu merupakan makanan yang biasa kita makan sehari-hari atau makanan yang kita usahakan demi sahur pertama yang istimewa.

Libur awal Ramadan kita gunakan untuk merebah dan menggulir beranda media sosial. Ketika kesibukan harian mulai aktif kembali, kita makin tidak sempat membersamai bulan suci yang belum lama kita sambut dengan semangat. Selesai menjalani kesibukan harian, kita mampir membeli beberapa makanan untuk berbuka puasa di sore harinya. Sesampainya di rumah, lagi-lagi layar gawai yang menyita perhatian kita.

Oh, ada tren video baru ternyata. Ada musik latar yang sedang viral. Kita bagikan video tersebut ke grup WhatsApp dan mengetikkan pesan, “Besok kita bikin gini yaa.”

Beberapa kawan menanggapi dengan antusias. Grup WhatsApp pun ramai oleh pembahasan rencana buka bersama lengkap dengan dresscode-nya. Meski tidak semua anggota grup ikut berpartisipasi dalam ‘rapat’ tersebut, semua anggota grup dianggap sepakat. Warna pakaian untuk bukber kali ini adalah hitam. Bagi yang perempuan, warna kerudungnya adalah cokelat susu.

Kita menjalani kesibukan harian seperti biasa keesokan harinya. Sebelum pulang, kita menyempatkan berkeliling untuk mencari takjil. Sayangnya, hari itu takjil sudah habis diborong oleh orang-orang yang tidak mendapat kewajiban puasa. Kita marah, kesal, lalu menjadikan kejadian itu sebagai candaan di media sosial.

Meski hal-hal yang saya sebutkan barusan memang terkait dengan bulan Ramadan, apakah memang benar itu vibes Ramadan yang kita cari? Jika memang iya, harusnya tidak ada orang yang mengeluhkan hilangnya vibes dari bulan suci ini.

Sayangnya, bukan vibes seperti itu yang kita rindukan. Kita mengharapkan Ramadan memberikan suasana yang mampu meredakan kepenatan akibat bergelut dengan hiruk-pikuk kesibukan selama sebelas bulan. Kita menginginkan atmosfer Ramadan yang menenangkan dan menyenangkan.

Vibes ini tentu sulit didapatkan jika kita tidak meluangkan waktu untuk menikmati kebersamaan dengan bulan Ramadan. Ia bukan sesuatu yang datang begitu saja bak hembusan angin yang dapat kita nikmati tanpa berusaha. Kita perlu mengupayakan kegiatan-kegiatan tertentu agar vibes Ramadan dapat hadir sesuai yang diharapkan. Kita mesti menyempatkan diri melakukan ritual keagamaan walaupun tidak harus semaksimal para kesepuhan yang menghabiskan sepuluh hari terakhir Ramadan di musala kampung. Setidaknya, kita sudah berusaha memanfaatkan kesempatan spesial yang datang setahun sekali ini.

Selain soal kegiatan apa yang kita lakukan, vibes Ramadan ini juga bergantung pada bagaimana cara kita memandang bulan tersebut. Saya tidak setuju dengan kalimat salah seorang pengguna media sosial yang berkata, “Vibes Ramadan itu gak pernah hilang, masa kita aja yang udah selesai.”

Vibes Ramadan bisa dirasakan oleh siapa saja. Ia tidak terbatas pada anak kecil yang masih berbaris untuk meminta tanda tangan imam salat tarawih saja. Baik anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan hingga lansia sekalipun, semuanya masih memiliki kesempatan untuk meraih suasana Ramadan yang menyenangkan dan menenangkan.

Memang benar, beban pikiran kita ikut bertambah seiring bertambahnya usia. Beban pikiran kita saat masih kecil tentu tidak seberapa jika dibandingkan dengan beban pikiran kita saat ini. Namun, sebenarnya kita sudah memiliki banyak beban pikiran sejak masih kecil. Mulai dari tugas sekolah yang melelahkan hingga masalah dengan kawan bermain, semuanya adalah beban pikiran yang berat menurut standar kita pada masa itu.

Lalu, mengapa pada saat itu kita masih dapat merasakan kebahagiaan dan menjalani Ramadan dengan penuh suka cita? Bagi saya, jawabannya adalah karena kita menganggap kebahagiaan yang muncul saat Ramadan tiba itu lebih besar daripada beban pikiran kita. Oleh sebab itu, saya kira beban dan tanggungan yang berat bukanlah halangan untuk merasakan vibes Ramadan yang kita harapkan. Cara pandang kita terhadap bulan Ramadanlah yang mempengaruhi vibes Ramadan seperti apa yang akan kita rasakan.

Sekian, saya berharap tulisan ini dapat menjadi evaluasi bagi kita semua. Semoga kita dapat bertemu bulan Ramadan yang akan datang dalam keadaan yang lebih baik. Aamiiin.

Ja’alanallaahu wa iyyaakum minal ‘aa`idiina wal faa`iziin wal maqbuuliin. Kullu ‘aamin wa antum bi khayr.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan