IBADAH DI TUBUHMU
Beberapa cahaya yang lamat masuk ke kamar kita
Mengisi ruang-ruang kosong, di hatimu dan hatiku
Lalu menjadi doa yang gemulai mengitari saban adegan
Sedangkan kita, terlumat dalam hangat di tengah kedinginan
Aku menyelam ke dasar hatimu
Melalui pori-pori yang sedikit basah
Sedangkan aroma tubuhmu yang kukenal akrab
Adalah nikmat yang kucintai tanpa sebab
Detak jam tak lebih cepat dari detak jantung
Ia menghunus segala gelap yang diciptakan malam
Subuh adalah waktu yang tak dirindukan
Sebab berpetualang di tubuhmu adalah ibadah paling nyaman
Air dari kulit-kulit kita mengucur,
Seumpama hujan yang berwarna sepi
Berjatuhan tanpa memberitahu tanah
Dan mengguyur tanpa sedikit pun suara
Sumenep, 2022
OBITUARIUM HUJAN
Entah
Ingin kukisahkan kematian siapa
Gagak memilih murung di balik cendana
Kau termenung di balik rindumu sendiri
Sedangkan hujan berkali-kali rintik di batang hidungmu
Obituarium hujan
Pun tak benar-benar ada
Sebab katamu hujan tak pernah mati
Hanya berlabuh pada pelukan rindu, lalu pamit lagi, menuju muasal
Air mata di pipimu
Sesekali diseka oleh jemarimu sendiri
Yang cemburu, sebab tanganku lebih memilih menggenggam hatimu
Obituarium hujan: tak akan pernah ada
24 Oktober 2022
SEPASANG SANDAL
Sepasang sandal mencabuli jalanan
Menerabas tubuh-tubuh cuaca
Bergantian, dari hulu pandangan
Menuju hilir bernama kesetiaan
Tak ada diskusi panjang
Tentang jarak yang harus dilamat
Percakapan mereka hanya ihwal siklus
Sejak rindu menjadi temu
Selepas ruang kosong
Sepasang sandal menemui takdirnya
Mendengarkan primbon aspal yang ringkih
Menyaksikan neon jalanan yang pendar
Lalu menemui cinta kita, yang nyaris tanpa belukar
24 Oktober 2022