Selama ini kita terlalu sibuk menunjuk ke luar saat merasa hidup berantakan. Kita terlalu sibuk menyalahkan orang lain, keadaan, negara, cuaca, hubungan yang gagal, hingga masa kecil yang tak beres. Kita membuat daftar panjang tentang segala hal eksternal yang kita anggap bertanggung jawab atas kesulitan hidup kita. Padahal, musuh yang paling kejam justru tidak pernah dating dari luar.
Musuh itu lahir dan tumbuh dari dalam tubuh kita sendiri—lebih tepatnya, dari pikiran yang tidak pernah kita hadapi. Pikiran yang kita kubur dalam-dalam, kita biarkan berjamur disudut gelap, dan akhirnya berubah menjadi iblis yang menggerogoti ketenangan kita sedikit demi sedikit.

Di titik inilah filsuf Friedrich Nietzsche terasa seperti seorang pembongkar topeng ulung. Ia adalah filsuf yang datang mengabarkan dan memberitahu bahwa drama terbesar dalam hidup manusia adalah drama melawan dirinya sendiri. Ia mengatakan, “Yang terbesar dari semua keberanian menghadapi diri sendiri” (Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1886).
Ini bukan sekedar nasihat moral; ini adalah nasihat perang. Nietzsche tahu bahwa yang paling lihai dalam berbohong adalah manusia yang berbohong pada dirinya sendiri. Kita bisa mengetahui beribu-ribu kesalahan orang lain, tetapi satu kecacatan dalam diri pun terasa seperti pisau yang mengiris harga diri.
Nietzsche melanjutkan gagasannya dalam The Gay Science (1882). Ia menggambarkan konfrontasi dengan diri sebagai perjalanan di tepi jurang yang menakutkan. Ia bahkan menulis bahwa ketakutan terbesar manusia bukan kematian fisik, melainkan “kematian jiwa dalam bentuk kebohongan pada diri sendiri.” Jauh lebih mengerikan kematian jenis ini, karena jiwa bisa mati sambil tubuh tetap hidup. Kita berjalan, makan, bekerja, bercanda, tetapi di dalam diri ada bagian-bagian yang sudah membusuk. Dan pembusukan itu dimulai dari satu hal sederhana: menolak melihat kebenaran dalam pikiran kita.
Jean-Paul Sartre, dengan gaya eksistensialisnya yang mencekik namun jujur, mempertegas hal ini. Baginya, manusia tidak sekadar bebas; manusia “dikutuk untuk bebas” (Sartre, Being and Nothingness, 1943).
