Idul Adha dan Kewajiban Ikut Keputusan Pemerintah

143 views

Kementerian Agama RI telah memutuskan bahwa pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1444 H tahun ini jatuh pada Ahad, 10 Juli 2022 M. Keputusan ini menjadi kontroversi dan debat publik yang viral di media sosial. Karena keputusan pemerintah kali ini tidak sama dengan salah satu ormas Islam di Indonesai, yaitu Muhammadiyah yang memutuskan Hari Raya Idul Adha jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022 berdasarkan teknis hisab.

Labih jauh, diskusi semakin tajam dan meruncing tatkala Menteri Agama (Yaqut Cholil Qaumas), yang bertanggung jawab dalam keputusan pelaksanaan Idul Adha, berhari-raya Idul Adha pada hari Sabtu, 9 Juli 2022. Padahal saat itu, Menag sedang melaksanakan ibadah haji di Saudi Arabia yang tentu saja pelaksanaan Hari Raya Idul Adha mengikuti pemerintah setempat. Indonesia dan Arab Saudi tidak sama dalam melaksanakan lebaran Haji saat ini, di mana Arab Saudi pada hari Sabtu, sedangkan Indonesai pada hari Ahad. Posisi kedua wilayah (letak geografis) yang menentukan ketidak-samaan dalam pelaksanaan Hari Raya Idul Adha.

Advertisements

Sama dengan penentuan satu Syawal dan satu Ramadhan, antara satu negara dengan negara lainnya tidak sama. Bahkan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya pun seringkali terdapat beda pandangan dan pendapat yang tidak seragam. Dalam hal ini, teknis penentuan tanggal hijriyah ada yang berpedoman pada rukyatul hilal, ada juga yang berpegang pada ilmu falak (ilmul hisab). Kedua teknis ini kadang-kadang menghasilkan perbedaan pendapat, meskipun seringkali juga berada satu titik kesamaan.

Kewajiban Ikut Keputusan Pemerintah

Ketika terjadi perbedaan antara keputusan ormas (organisasi masyarakat) dengan pemerintah, kita harus mengikuti yang mana? Jawaban ini pun akan melahirkan kontra pemahaman antara satu orang dengan orang lainnya. Di dalam kitab Ad-Durarus Saniyah, yang ditulis oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, pada halaman 111-112 menjelaskan terkait dengan kewajiban kita mengikuti keputusan pemerintah. Berdasarkan Al-Quran yang menjelaskan, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu,” (QS. An-Nisa: 59).

Ayat di atas menunjukkan bahwa taat kepada Allah swt, Rasulullah saw, dan pemerintah adalah merupakan suatu kewajiban. Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim dengan tegas mengatakan bahwa mengikuti keputusan pemerintah dalam beberapa hal yang bersifat umum, hukumnya adalah wajib. Bahkan meskipun pemerintah itu zalim, mengikuti keputusannya merupakan keharusan selama tidak dalam kemaksiatan. Jika dalam kemaksiatan kita tidak boleh mengikutinya tetapi tidak boleh terjadi anarkisme atau demonstrasi terkait dengan keputusan pemerintah.

Hadis yang terkait dengan kewajiban mengikuti keputusan pemerintah, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia taat kepada Allah swt, barangsiapa maksiat kepadaku maka ia maksiat kepada Allah swt, dan barangsiapa yang taat kepada pemerintah (penguasa) maka ia taat kepadaku,” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya kamu mendengar dan taat kepada pemerintah, bahkan andaipun (pemerintah) memukul punggungmu dan merampas hartamu, maka dengarkan dan taatilah,” (HR. Muslim).

Salah satu dari prinsip akidah salafus shalih dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mematuhi kebijakan pemerintah, sepanjang kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan untuk bermaksiat kepada Allah. Andai saja kebijakan tersebut berupa maksiat kepada Allah, kita hanya tidak boleh patuh pada kebijakan tersebut, tetapi tetap wajib taat pada kebijakan-kebijakan lain yang makruf.

Mematuhi kebijakan pemerintah menjadi bagian dari prinsip utama, bahkan bagian tak terpisahkan dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hampir seluruh karya ulama Ahlus Sunnah menjelaskan dan menegaskan tentang pentingnya prinsip tersebut sebagai bagian dari kewajiban syar’i bagi seluruh umat Islam serta menjadi pondasi bagi terwujudnya ketertiban bernegara.

Tepatnya ada enam perkara dimana umat Islam wajib mengikuti keputusan pemerintah, tidak peduli apakah pemerintah itu baik atau jahat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam kitab Al-Wajiz : 1) salat (terkait waktu, penyelenggaraan, hingga penggunaan pengeras suara), 2) salat Jumaat (mesjid yang boleh menyelenggarakan atau tidak), 3) dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha (terkait awal puasa, mulai hari raya, dan penyembelihan kurban), 4) amar ma’ruf nahi mungkar (terutama nahi mungkar harus oleh pemerintah karena terkait penindakan), 5) jihad fi sabilillah, tidak boleh oleh individu atau ormas tertentu, dan 6) haji (baik penyelenggaraan, pelayanan, dan pengaturannya).

Makna Idul Adha

Di dalam perayaan Hari Raya Idul Adha yang biasa juga disebut sebagai Hari Raya Kurban, adalah suri tauladan dari peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Suatu pengorbanan yang sangat mendalam tatkala Allâh swt memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail (putra semata wayang) demi taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebuah dilematis terhadap kecintaan bapak kepada anaknya. Tetapi perintah Allah swt jauh lebih dihormati dan ditaati sebagai suatu kehambaan.

Maka dengan perasaan yang hancur, karena cinta Robb merupakan segala-galanya, menyembelih Ismail merupakan sebuah pilihan. Tetapi Allah swt tidak tinggal diam. Melihat ketaatan Nabi Ibrahim kepada-Nya, maka Allâh swt mengganti Ismail dengan binatang ternak. Domba adalah hewan sembelihan yang dapat dijadikan pengorbanan demi taqarrub kepada Allah swt. Selain domba, binatang lainnya seperti unta, sapi, kambing, dan biri-biri dapat dijadikan hewan kurban.

Pada akhirnya terjadi implikasi sosial dalam bentuk ibadah kurban. Daging kurban dapat dibagikan kepada sanak famili, handai tolan, dan orang-orang miskin yang ada di sekitar kita. Dampak sosial ini akan mempererat tali persaudaraan, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Gus Baha (KH. Bahauddin Nursalim) bahwa hewan kurban dapat diberikan kepada non-muslim. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan