ILUSI KEBENARAN
“Ilusi, ilusi
… … …
kebenaran, kebenaran”
Banyak jejak yang tak terlacak
pada jam yang terus berdetak.
Dan andai kautahu
betapa cemburunya aku dengan waktu
dengan lalu.
Kaupacu waktu
dan terus mengejar rindu
tapi masa selalu lebih tua
dari yang kaumau.
Banyak jejak yang tak terlacak
pada jam yang terus berdetak.
Dan andai aku tahu
betapa cemburunya kau dengan waktu
dengan lalu.
Ada yang mengingatkan:
seperti air, seperti api, seperti debu, seperti angin
— kau datang dari jauh
dan akan terus merindu pada yang jauh.
Dan pada kejauhan itu
ada ilusi
ada kebenaran
bertukaran
bertautan
berkelindan
pada masa yang selalu lebih tua
dari yang kaumau.
Dulu pada ujung tali tiang gantung
ada sesuatu yang terputus: ughrrr…
Dan ketika itu seorang pengembara
meninggalkan sebuah jejak:
“ilusi, ilusi…
kebenaran, kebenaran.”
Tapi kau masih saja memacu waktu
mengejar rindu
yang terserak pada jejak
yang tak terlacak
pada jam yang terus berdetak.
Padahal masa selalu lebih tua
dari yang kauduga.
SILUET MIMPI
Tidur yang sangat melelahkan itu;
di dalam mimpi
terlalu banyak
yang harus kutemui.
Pada malam yang beku
makin banyak siluet berderet
berkelebatan berebut ruang
ingatan.
Ayah menutup pintu
di dalam ibu termangu.
Canda membuncah
di meja tua seorang kawan lama.
Dan kau berdiri
di pucuk gunung
menuding lazuardi
— di mana harapan tersimpan.
Pada subuh yang gigil
aku tersuruk-suruk di kolong
langgar angkring
— sembunyi dari mereka
yang mengajak bernyanyi.
Pada siluet subuh yang resah
anak melambaikan tangan
memanggil-manggil
dengan gumam.
Pada siluet yang lain
perempuan berkacak pinggang
memanggil pulang
yang hendak hilang.
Aku terbangun
mengerjap di pelukan
kita yang hangat;
mimpi itu begitu melelahkan.
Kekasih, hidup itu sangat bersahaja
begitu sederhananya, nyaris menjadi remeh.