Di pagi hari yang melelahkan, kabar bahagia menyeruak di antara para nelayan yang sedang membagi rata hasil tangkapan ikan sebelum didistribusikan ke pasar. Saat itu ada konglomerat memborong ikan tangkapan seluruh nelayan di pangkalan mereka.
Heru saat itu merasa sangat lelah. Sebab, sepanjang malam, di tengah angin kencang dan gelombang bergulung-gulung. Badai itu membuatnya duduk jatuh di pinggiran perahu, tenaganya seperti terkuras habis. Namun, semuanya terbayar lunas dengan harga ikan yang naik satu tingkat dari sebelumnya. Sayangnya, tak berselang lama kabar burung itu sampai.
Seorang bocah laki-laki menghampirinya setelah berlari cukup jauh.Badannya gempal dengan kulit sawo matang, ia terduduk mengatur napas.
“Kenapa kau berlari seperti orang dikejar hantu? Ingin kurus? Atau bagaimana?” tanya Heru dengan nada heran.
“Paman, Bi Imah mau melahirkan,” napasnya masih menderu.
“Ada di mana sekarang?” seketika wajah Heru tegang sekaligus senang.
“Di puskesmas desa. Pak Jarwo tadi yang membawanya.”
“Kenapa tidak menyusulku dari subuh tadi?” wajah Heru memerah, urat lehernya menegang tatkala mendengar nama Jarwo.
“Paman kan baru turun dari perahu, masak iya aku harus bersemedi untuk menunggu? Sudahlah paman, aku hanya mengantarkan kabar. Segeralah ke puskemas, Bi Imah membutuhkan.”
Tanpa menoleh lagi, bocah laki-laki yang bernama Ucok itu berjalan menjauh, meninggalkan Heru dengan wajah kesalnya seperti anak kecil merajuk.
Ternyata sesampainya di puskesmas buah hatinya sudah melihat dunia dengan remang-remang. Bayi itu terbungkus sarung batik, tangisnya pecah sebelum didekap oleh sang ibu di dadanya.
“Biar aku azankan.” Heru tersenyum penuh haru.
“Sudah Bang, Bang Jarwo tadi yang menggantikan Abang.”
“Mana dia sekarang? Kurang ajar sekali!” Mata yang tadi pagi menatap galak Ucok kembali di tampilkan pada istrinya. Tanpa perlu menunggu jawaban, Heru bergegas keluar, membawa pisau kecil yang ia simpan di balik gulungan sarungnya.