(1)
Suara kaset sang qori mulai diperdengarkan dari corong masjid. Hampir seisi kampung yang sunyi dan sepi penduduk itu akan mendengar suaranya. Masjid telah bersiap menampung jamaah penduduk kampung. Sesekali suara beduk ditabuh. Semakin dekat waktu, suaranya pun semakin bertalu-talu.
“Mak, Faisal mau Jumatan dulu!”
“Iya, Faisal. Segera berangkat sana biar dapat unta.”
Faisal nampak terdiam sejenak. Tak hendak berangkat. Tak hendak pula bersuara. Ada sesuatu yang sengaja disembunyikannya. Sang emak yang sedang menggoreng kerupuk pun mulai merasakan keganjilan.
“Kenapa kamu tak segera berangkat? Kalau telat nanti dapat ayam lho, atau malah tidak dapat pahala!”
“Faisal boleh minta uang, Mak?”
“Untuk apa kamu minta uang? Kamu lihat khan, Mak menggoreng kerupuk untuk besok dijual ke pasar. Beberapa hari ini kamu tahu sendiri Mak sakit. Mak hanya punya sedikit uang untuk kebutuhan.”
“Ya, sudah Mak. Biar Faisal pecahin celengan Faisal saja.”
“Jangan. Itu nanti untuk persiapan tahun ini kamu sekolah di Aliyah. Sekarang kamu perlu uang untuk apa?”
“Dimasukkan kotak amal.”
Faisal pun berangkat dengan hati yang lapang. Selembar uang bergambar KH Idham Chalid pun digenggamnya erat-erat. Ia ingin berinfak, dari Jumat ke Jumat. Ketika kotak amal mendekatinya, Faisal bergegas merogoh sakunya. Selembar uang itu pun dimasukkannya ke dalam kotak amal.
“Cuma selembar saja, seperti aku sepuluh ribu!” ejek teman di sebelahnya yang ternyata sedari tadi memperhatikannya.
“Iya Jumat depan.”
“Kalau infakmu sedikit, di akhirat bakal sulit. Ingat khan kata Pak Ustaz kemarin?”
“Iya, tapi Makku tadi bisa kasih segini saja!”
“Bilangin Makmu untuk rajin infak. Biar banyak rezeki seperti Ibuku!”
Seorang pengurus takmir mendatangi keduanya. Meminta untuk tidak bersuara ketika khotib sedang berkhotbah. Faisal dengan cermat kembali menyimak khotbahnya. Disampaikan materi tentang infak dan sedekah. Tentang keutamaan, pahala, dan contoh-contoh para nabi serta sahabat tentang banyaknya pengorbanan. Pak Kiai sangat lantang memberikan khotbahnya hari ini.
Faisal pun sedikit murung. Mulai membenarkan perkataan temannya sekaligus malu atas sedikitnya uang yang diinfakkannya tadi. Begitu kecil sekali. Berpikir jika di akhirat nanti malaikat akan melaknatnya karena tak pernah banyak memberi.
(2)
“Mak, Faisal mau minta uang lagi.”
“Untuk infak Jumat?”
“Ya, Mak. Tapi tambahin Mak. Faisal malu kalau infak sedikit.”
“Faisal maunya yang warna apa?”
“Yang warna hijau Mak!”
Mak terlihat kebingungan. Dicari-carinya uang di sisi-sisi dompetnya. Hanya ada beberapa lembar saja, itu pun dua ribuan. Belum lagi deretan angka kebutuhan hidup yang harus dibelinya. Mak pun coba masuk kamar; mencari-cari barangkali ada sisa uang di bawah bantal, kasur, laci, atau almari. Nihil. Tak ditemukannya sama sekali.
“Faisal, Mak hanya bisa ngasih dua ribu. Mak belum ada uang.”
“Kalau begitu, Faisal tidak mau ke masjid Mak. Faisal malu sama Gusti Allah. Malu sama teman-teman.”
“Anak laki-laki wajib salat Jumat. Kalau infak, itu tidak wajib Faisal.”
“Pokoknya Faisal salat di rumah.”
“Ya sudah, kamu tunggu di sini. Mak keluar sebentar. Jaga adikmu dulu.”
Mak yang tampak kebingungan keluar meninggalkan rumah. Diajaknya Fatimah, adik perempuannya yang selisih tiga tahun darinya, bermain di ruang tamu.
Tak berselang lama Mak datang. Keringatnya bercucuran di Jumat yang lumayan menyengat ini. Diberikannya uang berwarna hijau untuk Faisal berangkat ke masjid. Faisal tampak sumringah; langkahnya bersemangat berjalan kaki ke masjid. Ia berharap temannya melihatnya saat ia memasukkan uang tersebut ke kotak amal.
“Nanti Faisal pulang telat Mak. Mau ziarah ke makam bapak. Kata Pak Ustaz, kalau menjelang puasa, baiknya ziarah.”
“Hati-hati, Nak! Bersihkan juga kalau ada rerumputan di makam Bapakmu.”
(3)
“Mak, Faisal mau berangkat Jumatan dulu.”
“Iya. Tapi sebentar ya, Mak keluar dulu.”
“Kenapa Mak?”
“Seperti biasa. Mak senang sekali kamu rajin ke masjid, rajin infak, dan jangan lupa ya nanti ke makam bapak.”
Mak keluar dengan tergopoh-gopoh. Diajaknya Fatimah menyiapkan kayu dan pasir dekat tungku untuk menggoreng kerupuk. Dirapikan pula krecek kerupuk agar siap untuk dituangkan di penggorengan.
“Faisal, Mak cuma adanya ini. Tidak seperti Jumat kemarin.”
“Tidak apa-apa Mak. Penting ikhlas, Insya Allah berkah.”
“Faisal tidak marah? Faisal tetap berangkat Jumatan?”
“Iya Mak. Tapi nanti Faisal pulang setelah Ashar karena juga ada keperluan.”
(4)
“Mak, Faisal mau Jumatan dulu!”
“Iya. Jangan lupa nanti segera pulang. Tidak usah ke makam. Bantu ibumu di dapur.”
“Faisal telanjur janji dengan Pak Basuki. Mungkin jam 4 sore baru pulang. Paling cepat setengah empat.”
“Jangan. Jangan kamu ulangi lagi pekerjaanmu bantu-bantu Pak Basuki.”
“Kenapa Mak? Pak Basuki kan kuncen yang banyak jasanya di desa ini. Kasihan jika beliau sendiri yang membersikan makam desa.”
Tetiba sang emak memeluk Faisal dengan eratnya. Fatimah yang duduk di sampingnya tampak terdiam. Faisal pun juga nampak kebingungan apa yang sedang terjadi dan sedang dipikirkan maknya.
“Maafkan Makmu ini Faisal, Fatimah. Mak tidak punya apa-apa. Mak tidak banyak memberikan apa-apa. Tapi Mak mohon kamu jangan pernah meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang.”
“Mak tahu dari tetangga. Kamu selama ini bantu-bantu Pak Basuki membersikan makam. Orang yang datang berziarah pun sesekali memberimu uang. Mak tahu kamu ikhlas membantu Pak Basuki. Mak juga tahu semuanya kamu masukkan kotak infak. Tak ada yang kamu tabung dalam celengan, apalagi kamu sembunyikan atau buat jajan. Sudahi Faisal. Mak akan memberimu uang tiap Jumat untuk infak,” suara Mak terus melirih.
“Maafkan Faisal, Mak. Faisal tidak bisa mengerti keadaan Mak selama ini. Faisal selalu minta uang ke Mak. Faisal tahu kalau Mak keluar sebentar, Mak bingung mencari utangan ke tetangga. Faisal juga tahu kadang dagangan kerupuk Mak ada yang tidak laku, melempem, atau robek kemasannya.”
“Oalah Le, Faisal anakku.”
Mak pun meraih tubuh Fatimah yang sedari tadi terdiam saja di dekat jendela. Seusia Fatimah, ia mulai menyadari bahwa keadaan ini sedang tidak seperti biasa. Ketiganya saling menitikkan air mata. Faisal begitu teduh di antara pelukan Mak dan adiknya. Ia pun tak kuasa berkata-kata; meski tidak sederas Mak, air matanya menetes membasahi bumi. Akan tetapi sebagai anak lelaki, ia harus sediakan bahunya yang kokoh untuk menopang beban keluarga.
“Faisal pergi Jumatan dulu Mak. Fatimah kamu di rumah bantu Mak!” Suara beduk dan kentongan bertalu tanda bilal segera mengumandangkan azan.
Mak dan Fatimah pun melanjutkan pekerjaannya. Ini masih bulan Syaban, tapi di rumah itu seakan sudah Ramadhan atau malah Syawal. Memang tak ada hidangan lengkap yang tersaji. Tapi, jiwa-jiwa dan hati yang suci memenuhi seisinya; surga seolah tercipta dari gubuk yang lapuk itu di ujung desa.