Polemik terkait cuitan Abu Janda atau Permadi Arya, bahwa Islam adalah arogan menjadi sebuah diskursus yang melahirkan perseteruan. Meskipun sudah diklarifikasi oleh Abu Janda bahwa terjadi perubahan maksud dari tujuan sebelumnya, namun hingga saat ini polemik masih terus bergulir bahkan hingga ke ranah hukum. Setidaknya, klarifikasi dari tertuduh, Abu Janda, menjadi bukti bahwa tweet itu tidak bermaksud mendeskriditkan Islam. Sebab Islam itu sudah final sebagai agama yang harus dihormati, sama seperti agama-agama lainnya. Namun ungkapan yang dinilai nirakhlak oleh sebagian orang (nitizen) akan terus menjadi perdebatan.
Dalam KBBI dijelaskan bahwa arogan adalah sikap sombong, angkuh, dan besar kepala. Terkait dengan definisi ini, bahwa tidak ada korelasi antara Islam dengan arogan. Sebab, nilai ajaran Islam dan juga agama lainnya mendorong pada kesejahteraan dan kedamaian. Sangat riskan sekaligus absurd ungkapan arogan disandingkan dengan agama mana pun, termasuk Islam.
Di dalam agama mana pun tidak dibenarkan membangun suatu hubungan permusuhan. Perseteruan dan perpecahan hanya akan menimbulkan silang sengketa dalam kehidupan sosial. Maka tidak dibenarkan, hanya karena alasan untuk viral atau ingin terkenal, kemudian membuat kegaduhan dan kisruh di ranah publik. Hal ini tidak lepas dari sikap personal yang hanya akan menimbulkan perpecahan yang berkepanjangan.
Islam Agama Damai
Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya bersabda, “Tidak akan masuk surga kalian sebelum beriman. Dan, kalian tidak dikatakan beriman sebelum saling menyayangi. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika dilakukan akan membuat kalian saling menyayangi? Sebarkan salam (damai) di antara kalian.” (HR. Muslim).
Islam menganjurkan hidup yang damai, saling menghargai, dan saling menyayangi. Tidak ada dalam ajaran Islam yang menganjurkan untuk berbuat apatis, hipokrit, dan munafik. Karena sifat-sifat ini hanya akan memperburuk berkehidupan sosial. Tujuan kita hidup adalah untuk saling memberikan kemanfaatan. Khairunnas ‘anfa’uhum linnas, (sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada manusia lainnya). Sehingga kesalingan dalam kebaikan ini akan menjadi dasar utama dalam berkehidupan yang damai.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10). Ayat ini menjadi indikasi bahwa di antara umat muslim harus menjaga kedamaian dan ketentraman. Berusahan membangun persuadaraan yang hakiki dengan selalu berusaha berdamai dan menhindari perselisihan. Sebab, perselisihan, perseteruan, dan permusuhan hanya akan melahirkan orang-orang arogan dan kehidupan yang tenteram tidak akan pernah dicapai.
Berkata Baik atau Diam
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits tersebut ada dua pokok persoalan yang dapat kita ambil. Pertama, berkata baik, yaitu suatu ungkapan yang memiliki etika, tidak menyinggung perasaan orang lain, atau kata-kata yang mengandung hikmah. Ungkapan yang baik adalah sebuah nasihat baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Ucapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain adalah sebuah kaidah komunikasi agar terhindar dari perselisihan. Menghormati perasaan orang lain dengan cara memilih ungkapan atau ucapan yang tepat dan benar merupakan sikap bijak dalam suatu komunitas kehidupan.
Kedua, diam, yaitu suatu sikap bijak ketika ungkapan atau kalimat yang terucap tidak memberikan makna. Maka diam menjadi pilihan, dan sikap diam itu sendiri menjadi cerminan etika seseorang. Mencoba membangun komunikasi yang divergen, meluas tanpa adanya pengaruh positif akan berdampak negatif baik secara hubungan horizontal maupun vertikal. Harus dipikirkan lebih dalam terhadap konsekuensi ucapan sehingga akan berdampak baik kepada lingkungan. Ungkapan tafakar qabla an tatakallam, (berpikir sebelum berkata) harus diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkata baik memang memberikan dampak positif bagi hubungan sosial. Namun tidak semua orang mampu membangun komunikasi yang koheren, seharusnya, dan sepantasnya. Ketika seseorang mampu memberikan ungkapan kebaikan, maka perkataannya akan dubutuhkan oleh banyak orang. Karena dari ungkapan itu terkandung nasihat yang dapat dijadikan pegangan dalam berkehidupan.
Menghormati Perbedaan
Salah satu ungkapan yang baik adalah tidak mengeluarkan kata-kata yang menyebabkan kegaduhan. Sebab kehaduhan itu sendiri akan melahirkan sebuah perpecahan di tengah masyarakat. Apa pun maksud dan tujuannya, mengungkapkan sesuatu yang membuat gaduh akan dinilai sebagai pecundang. Tidak seharusnya seseorang berbuat sesuatu yang mendorong terjadi perpecahan.
Menghormati perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Karena kita hidup di dunia dengan segala ragam perbedaan yang sudah menjadi sunatullah. Allah swt mempunyai tujuan tertentu dalam mencipta perbedaan dalam kehidupan. Tetapi perbedaan itu jangan sampai menyebabkan permusuhan atau perseteruan. Karena permusuhan atau perseteruan itu bukan tujuan Allah swt dalan menciptakan perbedaan.
“Wahai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Al-Hujurat:13).
Ayat di atas jelas memberikan pemahaman bahwa makhluk yang namanya manusia diciptakan dalam keadaan yang berbeda. Namun perbedaan itu dimaksudkan agar mereka saling mengenal (lita’aarafu). Dan sebenarnya orang yang paling mulia adalah mereka yang paling takwa, yaitu orang-orang yang menjalankan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Wallahu A’lam!