Di era modern sekarang, kiranya tidak lah heran menyebut bahwa seluruh kemajuan baik dari sisi ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, serta pendidikan semunya berkiblat ke Barat (Eropa dan Amerika).
Hal tersebut barang tentu salah satunya karena fenomena pemuda muslim akhir-akhir ini yang banyak mengikuti tren Barat. Lebih-lebih banyak usaha yang dilakukan oleh kaum muslimin sendiri mengarahkan umat Islam agar mengikuti tradisi dan tren tersebut, sehingga mereka nantinya bisa dikendalikan dan diarahkan sesuai kehendak dan kemauan Barat.
Oleh karenanya tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa “Oleh karena itu, kalian bisa memperhatikan bahwa komunitas yang kalah akan selalu meniru komunitas yang menang (dalam cara berpakaian, bentuk kendaraan dan senjata, serta dalam bidang-bidang yang lainnya). Fenomena ini bisa kalian bandingkan dengan kecendrungan anak untuk selalu meniru perilaku ayahnya. Orang yang mempunyai kedalaman analisis bisa menyimpulkan bahwa fenomena ini adalah pertanda awal terkuasainya orang-orang kalah.”
Namun demikian, terlepas dari ketertinggalannya umat muslim dari dunia Barat, perlu kiranya kita perhatikan, teliti, dan simak secara bersama bahwa di balik pesatnya kemajuan negara-negara Barat saat ini, tidak lepas dari fondasi yang telah ditanamkan oleh umat Islam di masa keemasannya dan tetap memberikan kontribusinya sampai sekarang.
Hal tersebut membuktikan bahwa Islam adalah sebagai agama dan peradaban yang telah membawa rahmat bagi seluruh alam, tak terkecuali peradaban yang dulunya belum mengenal mandi dan sabun, justru menjadi peradaban yang maju dalam tanda kutip keilmuan sains dan teknologinya, hingga ditiru kemajuannya oleh negara-negara lainnya hingga saat ini.
Oleh karenanya, Islam dalam memajukan peradabannya dan memberikan kontribusinya kepada peradaban lain, tidaklah lepas dari dasar utamanya, yaitu Al-Qur’an al-Karim. Sebagaimana Al-Qur’an telah menganjurkan kepada kaum muslimin untuk selalu dan merenungi, tidak menetapkan apa yang didatangkan oleh generasi dahulu kecuali terdapat kebaikan setelah memikirkan dan merenungkannya dalam-dalam. Sebagaimana dicontohkan dalam Q.S al-Baqarah: 170 bahwa Allah mencela orang-orang kafir yang mencukupkan diri dengan taqlid tanpa berpikir terlebih dahulu.
Secara tidak langsung, ini merupakan metode atau manhaj yang dianjurkan untuk mengulang dan mengkaji setiap perkara yang sesuai dengan logika yang selamat. Memikirkan dan menetapkan dengan bukti-bukti sebagaimana pendapat yang diajukan kepada Rasulullah saat menggali parit Khandaq pada perang Ahzab. Dengan demikian, para ulama kaum Muslimin mewarisi manhaj ini, sehingga mereka tidak selalu terpaut dengan polesan ilmiah terdahulu, yang diciptakan
peradaban sebelum Islam. Ini mengajak kita pada upaya memikirkan inovasi yang tidak kenal henti. Karenanya mereka menambah temuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka sampai pada penemuan dasar-dasar ilmu baru pada saat itu salah satunya ilmu Apoteker.
Sejarah Ilmu Apoteker
Setelah diraihnya kemajuan yang pesat dari ilmu Kimia, sehingga mengantarkan kaum muslimin mencapai kemajuannya yang lain yaitu di bidang ilmu Apoteker. Bahkan ilmuan muslim pada saat itu berani menyimpulkan bahwa “Zaman kehadiran mereka sebagai masa pertama dari awal peradaban yang diketahui campuran obat-obatan dalam bentuk ilmiah dan efektif dengan cara yang baru.”
Sebagaimana juga diakui oleh Gustave Le Bon dan Jalal Muzhar bahwa “Kita sanggup menisbatkan tanpa batas minimal yang memberatkan ilmu Apoteker kepada mereka. Lalu kita katakan bahwa Apoteker adalah ilmu hasil penemuan bangsa Arab (Islam) sebagai tempat
muaranya.” “Mereka telah menambah pengobatan yang telah dikenal sebelumnya dengan menyusun berbagai macam penemuan, dan bangsa pertama yang menulis buku tentang obat-obatan.”
Kaum muslimin dalam penemuannnya di bidang ini tdak lepas setelah membaca berbagai karya dari bangsa Yunani. Salah satunya mereka membaca dalam kitab Al-Maddah Tibbiyah fi Khasyaisy wal Adwiyah Al-Mufradah yang ditulis oleh Dioscorides Al-Ain Zarabi (80 M) dan telah diterjemahkan beberapa kali.
Kemudian berselang beberapa lama, berdirilah apoteker kaum muslimin dengan keunggulan penyelidikan dan percobaan mereka dapat melebihi kitab aslinya. Dikarenakan mereka mengetahui apa yang meliputi isyarat Discorades, lalu muncullah karangan-karangan yang melimpah tentang apoteker ini dalam ilmu nabati. Seperti Mu’jam Nabati oleh Abu Hanifah Ad-Dinawariy, Al-Falahah An-Nabatiyah oleh Ibnu Wahsyah, Al-Falahah Al-Andalusiyah oleh Ibnu Al-Awwam Al-Isybili.
Salah satu rahasia yang dinisbatkan kepada kaum muslimin adalah karena bangsa Arab bertempat tinggal di negara yang mempunyai udara yang baik untuk menaman kurma. Di daerah tersebut juga tumbuhlah pohon-pohon rasa asam dengan kekuatan yang menakjubkan. Hingga dari tanaman itu dapat mengeluarkan rempah-rempah dan air tawar yang mengandung balsam, ditambah mengandung bahan yang bermanfaat bagi manusia dan yang bisa merusak.
Lain daripada itu, sesuatu yang paling penting dan berpengaruh pada kaum Muslimin tentang permulaan masa ilmu ini adalah bahwa mereka memasukkan aturan citra rasa dan mengawasi obat-obatan. Hal itu, terjadi pada masa Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim dengan kebijakannya masing-masing, seperti memerintahkan untuk mengikat atau menguji amanah apoteker dan memerintahkan untuk memberi apoteker yang ditetapkan amanahnya serta kecerdasannya dengan
syahadat (izin), agar tidak ada yang mengaku mempunyai segala obat, lalu memberikan kepada yang sakit padahal ia bodoh atau tidak mengerti suatu penyakit dan cara pengobatannya.
Dengan ketatnya pembuatan obat dan selektifnya umat muslim dalam pengawasan obat-obat tersebut, hingga seorang sejarawan pemimpin Afsyin mengunjungi apoteker daerah Aryaf sendiri untuk meyakinkan akan kesempurnaannya terhadap segala bahan-bahan yang baik dan berkualitas.
Ia pun mengakui dan berkata “Kaum Muslimin adalah generasi pertama yang menyebarkan keahlian apoteker dengan dasar-dasar ilmu yang selamat, mendirikan badan pengawasan terhadap apoteker dan tempat pembuatan obat sebagai suatu profesi yang patut diperhitungkan atau diperhatikan.”
Dengan demikian, oleh karena kecemerlangan pembuatan apoteker oleh kaum muslimin tersebut, Qadri Thuqan dengan karyanya Ulama Al-‘Arab wama U’thuhu li Al-Hadharah menyatakan bahwa bidang apoteker kaum Muslimin merupakan ladang subur di bidang penemuan. Mereka telah memberikan peran paling besar ketika memanfaatkan ilmu kimia dalam pembaharuan obat-obatan modern yang mempunyai pengaruh dalam penyembuhan sebagian penyakit. Seperti mengeluarkan alkohol, campuran air raksa, garamamoniak, menciptakan minuman yang diperas, menyuling atau mengambil (inti sari) suatu bahan.
Dengan temuan ini mereka menemukan obat-obatan yang disandarkan kepada perkembangan
dan kekuatannya. Sebagaimana percobaan-percobaan mereka terhadap obat-obatan nabati yang belum dikenal sebelumnya, seperti kafur, labu (yang rasanya pahit) dan daun pacar (inai).
Adapun karya di bidang apoteker ini sangat melimpah, terlebih menguak obat-obatan terbaru. Seperti dalam Kitab Al-Hawi oleh Ar-Razi, Shaidaliyah wa Tibb oleh Al-Biruni, Kamil Shana’ah oleh Ali bin Abbas, dan Al-Qanun oleh Ibnu Sina.
Di antara pengarang tersebut, Ar-Razi lah yang meletakkan dasar yang benar di berbagai bidang ilmu apoteker. Ia menjelaskan sifat-sifatnya, tata cara meraciknya, membuka tutupnya, kegunaannya, pembuatannya, berapa masa menjaganya supaya tidak rusak.