Berbagai aliran dan paham dalam Islam marak di Indonesia. Dan seringkali kelompok-kelompok tertentu menempatkan diri sebagai yang paling Islam sendiri. Hal itu bisa dilihat dari sikap mereka. Siapa pun yang berbeda dengan mereka dan tidak memiliki pemahaman yang sama, maka dipastikan akan dicap keluar dari Islam, dalam istilah lain murtad atau kafir.
Hal demikian bisa begitu cepat dan pesat berkembang di Indonesia bisa jadi dikarenakan secara sosio-kultur masyarakatnya memang begitu heterogen. Dalam pandangan paham tertentu, kebudayaan menjadi suatu yang acapkali disebut bukan bagian dari syariat Islam. Karena, bagi mereka, sesuatu yang lahir di tanah Arab, walaupun itu budaya, mereka anggap itu semua sesuatu yang harus dibawa ke tanah airnya. Sampai mereka lupa, bahwa negaranya mempunyai tipologi atau karakter budaya sendiri.
Paham semacam itu bisa dijumpai di kalangan-kalangan yang menganut Wahabisme-Salafisme. Sebelum dijelaskan, sedikit saya akan mengenalkan kepada para pembaca, siapa Wahabi-Salafi? Dalam literatur yang pernah saya baca (Buku Pintar Wahabi dan Salafi), di sana dijelaskan bahwa Wahabi dan Salafi memiliki paham dan gerakan yang sama dalam memandang ajaran Islam.
Keduanya berkeinginan adanya pemurnian Islam dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadis. Istilah salafi memang muncul belakangan, sekitar tahun 1980-an yang dipopulerkan oleh Nashiruddin Al-Bani. Karena Al-Bani mengungkapkan istilah wahabi terlalu mengkultuskan nama seseorang, yakni Muhammad bin Abdul Wahab.
Salah satu yang menjadi karakter cara pandang Islam kelompok tersebut, ialah tidak menginginkan adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadis. Berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah pada umumnya yang juga berkembang di Indonesia. Selain Al-Qur’an dan Hadis, masih ada Ijma dan Qiyas. Sehingga, Wahabi memandang sumber hukum dengan sangat tekstualis; apabila tidak ada di keduanya, maka paling tidak yang dilakukan kelompok lain akan dianggap sebagai bidah, lebih parahnya lagi murtad.
Islam dan Budaya
Perlu diketahui Islam bukanlah agama simbolitas dan dogma belaka. Jadi, apabila ada yang beranggapan Islam terpusat pada simbolitasme, pakaian, misalnya, maka cara pandang seperti itu, sangatlah begitu dangkal. Sebab, jika Islam hanya dimaknai demikian, maka kembali di awal tadi, budaya seperti yang ada di Arab Saudi menjadi sesuatu yang wajib kita ikuti, padahal tidak.