Hampir dua hari kau tampak murung. Tak ada cercah harapan yang bisa mengganti mendung di pikiranmu setelah dua hari lalu kau memutus pertalian sakral dengan istrimu. Sebenarnya, kau tidak mau melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh kayakinan di agamamu. Tetapi apalah daya, ketersiksaan yang kerap menjambangimu ketika lelap di ranjang anyar setiap malam setelah menikah, tak bisa kau tahan lagi. Maka, menalak istrimu yang baru kau sunting setengah bulan lalu harus kau ambil cepat-cepat.
Kehadiran istrimu yang pertama, sungguh di luar dugaan. Benar-benar jauh dari yang kau perkirakan. Kau tidak menyangka, bahwa istrimu yang pertama bakal membawa sial saat di atas ranjang pengantin. Bagaimana tidak, setiap kali terlelap, selalu istrimu mendengkur keras. Awal-awal, kau mencoba biasa, tetapi setelah tiga malam berturut-turut, kau mulai menceramahi istrimu.
“Coba kalau tidur jangan mendengkur,” pintamu tegas pada istrimu di amper rumah saat pagi tiba.
“Siapa yang mendengkur? Perasaan, aku tidak pernah mendengkur saat tidur,” istrimu mengelak.
Kau tahu betul, kalau yang diutarakan istrimu itu sedikitpun tidak benar. Tapi, kau tahu sendiri bahwa istrimu selalu mendengkur keras saat tidur. Dan kupingmu selalu terusik hingga membuatmu tak lelap.
“Perempuan kalau tidur mendengkur itu tidak wajar, tahu ‘kan?”
“Siapa yang mendengkur?”
“Kamu.”
“Aku? Mana mungkin aku mendengkur,” sambung istrimu mengelak lagi.
“Awas, kalau nanti malam masih mendengkur, kucerai kau!” ancammu dengan telunjuk mengarah pada wajah istrimu.
Kau sungguh tidak biasa tidur bersama orang yang mendengkur. Semenjak kecil, kau memang diajari untuk tidak mendengkur ketika tidur. Dan sampai sekarang, kau tak pernah mendengkur di waktu tidur. Terlebih ibumu yang paling tidak suka kalau tidur dengan orang yang mendengkur.
Akan tetapi, pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tidak menyertaimu. Nasibmu tidak seberuntung ibumu. Suami ibumu, atau juga ayahmu, tidak mendengkur ketika tidur. Itu sebab mengapa tidurmu selalu nyenyak sampai pagi tiba. Hingga akhirnya—singkat cerita—ketenangan di waktu tidur musnah saat kau mempersunting perempuan desa tetangga, yang sudah kau cerai beberapa hari lalu.