Jadi Santri itu Susah dan Berat…

1,008 views

Jadi santri itu memang berat dan susah. Harus memiliki ketabahan dan kekuatan ekstra, lahir dan batin, fisik dan mental, untuk bisa menjalani kehidupan dalam tradisi santri. Saat masih menuntut ilmu, santri harus memiliki kekuatan psikoligis berpisah dari orang tua, menjalani hidup mandiri dalam lingkungan pesantren. Ini merupakan ujian hidup dasar yang harus dijalani oleh seorang santri. Tradisi berpisah dengan orang tua untuk menuntut ilmu ini sudah berjalan berabad-abad dalam komunitas santri.

Tak hanya keluarga rakyat jelata yang harus merelakan berpisah dengan anaknya untuk menjadi santri, bahkan anak keluarga ningrat dan elite sekalipun harus rela berpisah dengan keluarga ketika menjadi santri.

Advertisements

Raden Mas Burhan (Ronggo Warsito), keluarga elite Keraton Surakarta, harus berpisah dengan keluarga ketika menjadi santri di Pesantren Tegalsari asuhan Kiai Hasan Besari di Solo. Syech Nawawi al-Bantani, ulama besar Nusantara, sudah harus berpisah dengan orang tua sejak kecil untuk menuntut ilmu. Pada usia delapan tahun, Syech Nawawi dengan kedua adiknya yang masih kecil, Tamim dan Ahmad, sudah berpisah dengan orang tuanya untuk menuntut ilmu pada KH Sahal, seorang ulama dari Banten. Setelah itu, menjautkan berguru pada Syech Baing Yusuf Purwakarta dalam usia yang belum genap 15 tahun. Tradisi ini dipertahankan sampai sekarang.

Selain berpisah dari orang tua, menjadi santri juga harus menjalani laku prihatin. Makan dan main dibatasi. Mereka tidak bisa makan seenaknya sebagaimana layaknya anak-anak bukan santri.  Untuk makan dan ke kamar mandi, mereka harus antre dan berbagi dengan sesama santri. Ketika anak-anak seusianya bebas makan apa saja, keluyuran di mal untuk berlibur dan bermain, main game dan HP sepanjang waktu, maka para santri hanya makan ala kadarnya di pesantren, membaca syair shalawat dan dadham kitab sambil memukul meja sebagai hiburan. Semua ini dilakukan sebagai latihan pengendalian diri, mengekang nafsu dan memperkuat keteguhan jiwa.

Untuk memperkuat kepekaan rasa dan ketajaman batin, santri juga dituntut melakukan berbagai laku spiritual. Ketika anak-anak lain sedang tidur lelap, para santri harus bangun untuk salat malam dan dzikir. Ketika anak-anak lain bebas jajan dan makam, santri harus mengekang rasa lapar dengan berpuasa. Saat anak-anak lain sedang asyik jalan-jalan, santri harus khusyuk munajad kepada Allah. Semua ini dilakukan sebagai upaya pembersihan diri. Menghapus berbagai debu dan kotoran yang melekat dalam hati yang bisa menghalangi pancaran Nur Ilahi pada diri para santri.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Jadi Santri itu Susah dan Berat…”

Tinggalkan Balasan