Jalan Jodoh Santri

85 views

Ahad pagi ini merupakan hari yang di luar kebiasaan. Nopi tidak bisa melihat serial Doraemon, film kesukaannya. Ia harus berangkat mengajar di Madrasah Pondok Pesantren Al-Hikmah.

“Pagi-pagi mau mandi. Kamu mau mana ke mana?” tanya Bu Ismi, ibu Nopi.

Advertisements

“Saya lupa menceritakan ke ibu, kalau MA tempat saya mengajar liburnya hari Jumat. Hari ini saya ada jadwal mengajar di MA Bu.”

“Minggu-minggu masa masuk sih, Nop?” celetuk Mbak Ayu.

“Kata Pak Kiai Pesantren Al-Hikmah, ‘hari Jumat itu sayyidul ayam atau tuannya hari. Sebagai umat muslim, kita harus menghormatinya dengan cara memperbanyak ibadah.’ Makanya diliburkan, Mbak.”

Sejak awal berdiri sampai sekarang, pengurus Pondok Pesantren Al-Hikmah memang sudah menyepakati bahwa meliburkan aktivitas santrinya di hari Jumat. Ketika awal wawancara seleksi menjadi guru Madrasah Aliyah Al-Hikmah, Nopi sudah beritahu oleh Pak Heru bahwa jika Nopi diterima sebagai guru, ia harus masuk di hari Ahad.

Jarak rumah Nopi ke MA sekitar 12 km, tetapi uniknya harus keluar dari kabupatennya. Ia tinggal di Kabupaten Nganjuk, sedangkan MA di Kabupaten Kediri. Ia juga harus melintasi tiga kecamatan. Dengan mengendarai motor Supra X peninggalan ayahnya, hanya butuh waktu 20 menit dengan kecepatan 50 km/jam.

Sesampainya di madrasah, Abah Dain, Kepala MA Al-Hikmah, sedang berdiri di depan kantor dekat pintu masuk siswa. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap pagi sebelum pukul 07.00. Beliau mengawasi para santri yang berangkat ke sekolah.

Para guru yang datang langsung menyalami Abah dengan mencium tangannya. Adab ini baru diketahui Nopi karena ia tidak pernah nyantri. Usai bersalaman dengan Abah, Nopi hendak menuju kantor guru, tetapi Abah menghentikan langkahnya dengan sebuah pertanyaan.

“Bapak sudah menikah?”

“Belum, Bah.”

“Sudah punya calon istri?”

“Saya belum mapan, Bah. Jadi belum berani mencari calon,” jawab Nopi sambil tersenyum canggung.

Nopi belum pernah bertemu sosok yang kharismatik seperti Abah Dain. Memang dia belum mengenal dengan baik Abah. Tapi teman-teman gurunya sudah sering bercerita tentang karakter kepemimpinan sekaligus keilmuan Abah.

***

Pak Fatoni pernah bercerita bahwa pernah suatu ketika ia terlambat masuk kelas karena lupa jadwal mengajar di kelas XI IPS 2, tetapi Abah menegurnya dengan lembut.

Saat Pak Fatoni terlambat, siswa-siswa mengira bahwa mata pelajaran Ushul Fikih kosong, tidak ada pelajaran, sehingga anak-anak keluar. Melihat banyak siswa yang keluar kelas, Abah menghampirinya.

“Waktunya siapa ini?” anak-anak pun berlarian memasuki kelas.

Wanci nipun Pak Fatoni, Bah?”

“Sudah sampean cari di kantor, Pak Fatoni?”

“Belum, Bah.”

“Kalian itu di sini nyantri, menimba ilmu. Orang tua kalian itu membiayai kalian dengan susah payah agar bisa mondok dan bersekolah. Kalau ada jam kosong segera konfirmasi ke guru piket. Menanyakan apa memang benar guru mata pelajaran tersebut tidak hadir dan meminta tugas jika memang tidak hadir. Jika kalian tidak diajar atau diberi tugas, maka kalian sendiri yang rugi.”

Injih, Bah,” jawab seisi kelas.

“Ayo, lekas, ketua kelas atau wakil segera menemui guru piket.”

Fikri, ketua kelas XI IPS 2, seketika itu berlari untuk menemui guru piket. Abah tetap menunggu di depan pintu kelas.

“Assalamuaikum, Bu. Saya ingin menanyakan, apa Pak Fatoni menitipkan tugas kepada guru piket?”

“Waalaikumsalam. Pak Fatoni ada di dalam kantor. Mungkin lupa kalau hari ini ada jadwal di kelas kalian.”

Fikri pun menemui Pak Fatoni di kantor kemudian menyampaikan bahwa saat ini Pak Fatoni ada jam di kelas XI IPS 2. Saat sampai di depan kelas XI IPS 1, Pak Fatoni menyalami Abah.

“Ini tadi mengapa Bapak telat mengajar?”

Sepuntenipun Bah, saya lupa jika ada jam di kelas XI IPS 2.”

“Lain kali, Bapak harus sering mengecek jadwal agar tidak terjadi seperti ini lagi.”

Walau pun sudah sepuh, Abah tetap ingat karakter setiap guru di MA Al-Hikmah. Beliau tahu, bahwa Pak Fatoni adalah orang yang tidak pernah izin kecuali sakit atau ada hal yang lebih penting daripada tugas mengajarnya. Begitulah cerita tentang kebijakan Abah yang diungkapkan di ruang guru. Cerita itulah membuat Nopi takzim kepada Abah.

***

Selang satu semester Nopi mengajar di MA Al-Hikmah, Pak Pras, teman kuliah sekaligus guru Bahasa Indonesia kelas XII, berpamitan kepada seluruh guru bahwa ia tidak bisa mengajar lagi di MA Al-Hikmah. Kejadian tersebut membuat MA Al-Hikmah kekurangan guru Bahasa Indonesia.

Pagi itu sebelum pembelajaran dimulai, Bu Linda sedang mengobrol dengan Pak Heru, Wakil Kepala Kurikulum MA Al-Hikmah.

“Pak, saya kelebihan beban mengajar. Dalam satu minggu saya harus mengajar 38 jam. Apa Pak Nopi sudah tidak bisa ditambah lagi jam mengajarnya?”

“Sudah tidak bisa, Bu. Pak Nopi sudah mengajar 38 jam. Solusinya hanya bisa mengangkat guru baru.”

Nopi terlihat berjalan dari arah parkir menuju ke arah Pak Heru dan Bu Linda yang sedang mengobrol.

“Pak Nopi, bagaimana, masih sanggup kan menggantikan Pak Pras?”

“Sebenarnya sedikit kelebihan beban Pak, sehingga saya sering salah jadwal.”

“Bu Linda juga bercerita begitu. Saya memiliki solusi Pak. Mungkin sampean punya teman guru Bahasa Indonesia yang ingin mengajar di pondok ini, silakan ditawarkan,” usul Pak Heru.

“Ya Pak, nanti coba saya sebarkan informasi kepada teman-teman kuliah saya dulu.”

***

Mei yang lama bekerja di Surabaya ingin pulang ke Kediri. Biaya hidup yang besar memaksanya untuk mencari penghasilan tambahan. Teman kuliahnya, Uchti, memberi tahu bahwa di Kediri ada MA yang membutuhkan seorang guru Bahasa Indonesia. Hatinya berkecamuk ketika ada juga lowongan guru les di sebuah LBB. Ia semakin bimbang, apakah harus diambil pekerjaan itu atau pulang ke Kediri.

“Aku sudah pernah mengajar sepuluh tahun di Surabaya. Tetapi aku memutuskan pulang karena selama sepuluh tahun bekerja di sana aku hanya membawa motor,” jawaban Uchti ketika dimintai pertimbangan tentang harus pulang atau tidak. Selain itu, Jum juga memberikan pertimbangan.

“Hidup di kota kita cenderung komsumtif karena banyak toko-toko dan jaraknya dekat-dekat. Kalau di desa lebih irit.”

***

Budaya mencarikan pasangan hidup di Pondok Pesantren Al-Hikmah memang begitu kental. Kali ini Nopi pernah dikenalkan oleh banyak guru-guru MA Al-Hikmah.

“Pak, sampean sudah punya pacar?” Pak Sulkim bertanya dengan nada guyon.

“Belum Pak.”

“Masa sih pak? Ini ada guru PNS bekerja di MAN 2 Kediri yang sedang mencari jodoh bekerja di pesantren. Barang kali sampean minat, nanti saya kenalkan.”

Nopi hanya tersenyum. Dalam hatinya dia takut jika beristrikan seorang yang lebih mapan dari dirinya.

Berselang beberapa hari dari percakapan dengan Pak Sulkim, Nopi dipanggil Abah untuk mengahadap ke kantor kepala madrasah.

Nopi bersimpangan dengan Mei. Wajah Mei terlihat tak asing di padangan Nopi. Mei pun menatap Nopi; ia ingat dulu Nopi pernah sekelompok dengannya waktu presentasi mata kuliah Sosiolinguistik. Keterbatasan dosen pengampu Sosiolinguitik membuat kelas kuliah PNA dan PNB dijadikan satu. Saat itulah mereka bertemu selama satu semester.

Karakter islami sudah melekat pada semua warga MA Al-Hikmah, Nopi ingin menyapa tapi takut ada hubungan antara ia dan Mei. Akhirnya, Nopi memberanikan diri untuk mengawali menyapa

“Kamu Mei?”

“Hei, iyo. Kamu Nopi ya?”

“Heem. Sedang apa di sini?”

“Melamar kerja. Kemarin aku di SMS sama Ucthi kalau MA Al-Hikmah sedang membuka lowongan guru.”

“Kamu ngejar di sini?”

“Ya, Mei. Aku sudah satu tahunan mengajar di sini. Aku masuk ke kantor dulu soalnya tadi dipanggil Abah.”

Mereka pun berjalan menjauh. Langkah Nopi diayunkan menuju kantor Abah, sedangkan Mei membimbing kakinya menuju parkiran.

Nopi mengetuk pintu, kemudian mengucapkan salam.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, silakan masuk  Pak.”

Injih, Bah.”

“Saya mau menanyakan tentang alumni Unesa yang melamar di MA sini. Mungkin Bapak mengenal. Coba lihat fotonya ijazah ini. Sepertinya tidak sama dengan pas foto yang terlampir di surat lamaran.” Abah menyerahkan sebuah berkas kepada Nopi.

Injih, Bah, memang ini teman saya kuliah.”

***

Tiga bulan sudah Bu Mei mengajar di MA Al-Hikmah. Saat pagi sebelum memasuki kelas, Nopi menyempatkan menyalami Abah di tengah lapangan MA Al-Hikmah.

“Bagaimana Bu Mei menurut sampean, Pak?” tanya Abah kepada Nopi.

Menawi masalah kemampuan mengajar sudah tidak perlu diragukan lagi, terbukti anak-anak nyaman waktu diajar.”

“Bukan masalah itu. Tetapi jika dijadikan istri Bapak?”

Nopi tertegun sebentar. Tak menyangka Abah menanyakan itu.

“Saya dengar kemarin sampean dijodokan oleh Pak Sulkim, tetapi belum menjawab. Bu Mei itu sudah mengajar di sini tiga bulan. Saya amati begitu disiplin. Mungkin sampean lebih mengenal.”

“Kalau saya tidak berkeberatan. Tapi apa….”

“Gampang itu, Pak. Nanti saya bantu.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan