Setelah beberapa tulisan mengenai Jelajah Pondok di Sumatra dibuat, saya melihat ada jejak tokoh penting yang dapat menjadi penyambung jejaring kepesantrenan di Tapanuli Selatan atau paling tidak di Padang Lawas Utara dan Selatan. Tokoh tersebut adalah Syekh Ahmad Daud Siregar. Setelah mendirikan pondok parsulukan, kemudian ia mendirikan pondok pesantren.
Pola yang sama setidaknya menurun pada muridnya, KH Abdullah Harahap yang mendirikan Pondok Pesantren Nurul Falah di Panompuan. Barangkali juga berlaku di pondok pesantren lain, yang juga akan kita bahas selanjutnya, yaitu pesantren warisan Syekh Ahmad Daud Siregar tersebut terbelah menjadi dua, yaitu Pondok Lama Darul Ulum dan Pondok Baru Syekh Ahmad Daud An Naqsabandi dan Pondok Pesantren Almukhtariyah Sunagi Dua Portibi.
Kali ini kita akan secara khusu membahas Pondok Baru yang nampaknya lebih condong untuk mempertahankan metode lama yang diwariskan Tuan Nabundong.
Sepeninggal Syekh Ahmad Daud Siregar yang lebih dikenal sebagai Tuan Nabundong memang terjadi perpecahan di dalam tubuh Pesantren Darul Ulum. Anak tertua Syekh Ahmad Daud mewarisi Pondok Pesantren Darul Ulum yang kemudian dikenal sebagai Pondok Nabundong Lama. Anak tertua Tuan Nabundong tersebut adalah H Baharuddin Siregar. Ia merupakan lulusan pesantren modern Padang Panjang Sumatra Barat.
Sementara adiknya, Syekh Usman Ahmad Siregar, membangun sendiri pondok pesantren yang secara ide lebih dekat pada cita-cita ayahnya. Paling tidak, cita-cita tersebut dapat dilihat dari pilihan nama yang Syekh Usman Ahmad Siregar lakukan, yaitu Pesantren Syekh Ahmad Daud An-Naqsabandi. Paling tidak Nama Syekh Ahmad Daud dan An-Naqsabandi muncul sebagai perhatian khas bagi saya.
Sejauh pengamatan dan pembacaan yang saya lakukan, para pembelajar dari Tapanuli Selatan (Angkola-Mandailing) yang berangkat menuntut ilmu ke Makkah-Madinah, termasuk Syekh Ahmad Daud, tidak hanya membawa bekal ilmu fikih melainkan juga membawa serta ajaran tasawuf. Sebagaimana kita bahas sebelumnya, sepulang dari Arab, Tuan Nabundong mendirikan persulukan tarekat An-Naqsabandi di Nabundong Batang Onang Padang Lawas Utara Sumatra Utara.
Saya melihat bahwa ada keinginan untuk mempertahankan nyawa “pesantren” dalam diri Pondok Nabundong yang nampaknya mulai luntur dari Pondok Lama. Terbukti bahwa hingga saat ini Usman Ahmad memilih untuk mempertahankan belajar tidak memakai kelas yang di pesantren Jawa dikenal sebagai sistem sorogan atau halaqoh.
Syekh Usman juga mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik seperti kitab nahwu Al-Jurumiyah dengan cara di dobit atau diartikan dengan aksara melayu. Yang lebih menarik adalah bahwa pesantren yang menggunakan kata baru atau Nabundong Baru ternyata menggunakan sistem wetonan dan sorogan.
Menurut pengamatan lebih jauh, pondok pesantren hanya menyediakan asrama untuk santriwati. Sementara untuk santri, pihak pengelola menyediakan pondokan kecil berukuran 2 x 3 meter yang hanya dihuni oleh satu santri. Sebagai tambahan, santri tidur dan berkegiatan di ruang tersebut. Pihak pondok tidak menyediakan penerangan listrik melainkan hanya lampu pelita atau teplok. Para santri tidur beralaskan tikar pandan.
Kondisi tersebut bukan tanpa tujuan. Para santri diharapkan dapat terjaga dan mudah dibangunkan untuk melaksanakan kegiatan berdzikir sebelum subuh tiba. Kondisi tersebut sekaligus diharapkan dapat menjadi pengingat bahwa para ulama dan pembelajar ilmu agama Nusantara zaman dahulu dalam menuntut ilmu hidup mandiri lengkap dengan kesederhanaan dan kesabaran.