Tidak terasa, kurang lebih dua minggu lagi kita semua akan melangsungkan pesta demokrasi yang katanya pesta rakyat. Bagaimana tidak? Sebab pemilu adalah momentum yang sangat krusial bagi bangsa Indonesia menata diri selama lima tahun ke depan. Penentuan wajah para pemimpin yang akan menjadi wakil rakyat nanti. Maka, saat seperti inilah rakyat amat dilirik oleh mereka yang akan maju ke panggung kontestasi politik.
Semoga Allah memberi kita semua taufik dan hidayah-Nya agar dalam proses menulis topik yang cukup sensitif ini kita semua terhindar dari hal-hal yang negatif.
Sebagai rakyat, santri juga memiliki hak pilih yang harus digunakan untuk memilih. Oleh karena itu, pihak KPU gencar melakukan sosialisasi pemilu di berbagai pondok pesantren agar para santri dapat menggunakan hak pilihnya.
Melansir dari beberapa pemberitaan, KPU sering menegaskan kepada santri untuk memilih sesuai hati nurani dan bukan karena intervensi. Lalu muncul pertanyaan, apa benar santri rawan intervensi?
Sebagai seorang santri, ta’dhim kepada guru adalah hal yang paling utama. Maka sangat jarang ada santri yang bersebrangan dengan guru, entah itu dalam hal pendapat maupun keberpihakan.
Apakah merujuk kepada pilihan guru disebut dengan intervensi? Sebagai orang awam, saya berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah bentuk intervensi. Justru santri memilih dengan sadar sesuai hati nurani dengan dikuatkan oleh keberpihakan guru. Meskipun ada juga ulama yang tidak menunjukkan keberpihakannya. Jangankan santrinya, keluarganya saja tidak mengetahui siapa yang akan dipilihnya. Hanya beliau dengan Allah yang tahu.
Tidak masalah, setiap ulama memiliki cara berdakwah yang berbeda-beda. Tugas kita bukan untuk menyelisihinya melainkan untuk saling menghargai dan mengikuti sesuai prinsip masing-masing.
Kondisi Politik Saat ini
Coba kita tengok kondisi politik saat ini. Semakin memanas bukan? Media informasi yang semakin canggih sangat berpengaruh terhadap pilihan rakyat. Banyak sekali informasi yang sengaja diedit sesuai kepentingan masing-masing. Bahkan tidak jarang berujung pada saling menyindir, menghina, berselisih, hingga fitnah. Naudzubillahimindzalik …
Sampai saat ini, tidak sedikit rakyat yang masih bingung untuk menjatuhkan pilihannya. Ada yang merasa tidak cocok dengan partainya, salah satu calonnya, hingga riwayat buruk masing-masing calon.
Saya rasa ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden memiliki riwayat masing-masing, dan tidak ada yang benar-benar bersih. Tugas kita bukan memilih siapa yang paling baik, tapi siapa yang minim dari perilaku destruktif (merusak). Seperti salah satu kaidah fikih dalam memilih pemimpin yaitu:
يختار أهون الشرين
“Di antara dua keburukan yang mungkin terjadi, maka dipilih keburukan yang paling ringan.”
Nah, dengan kondisi yang serba membingungkan ini, mengacu pada keberpihakan guru dapat menjadi alternatif untuk lebih menguatkan pilihan. Guru adalah seorang yang alim, sesuai dengan maqolah Imam Al-Ghazali dalam kitab ringkasan Ihya Ulumuddin menjelaskan “Al-A’limu amiinullahi subhanahu fii al-ardhi” yang artinya “Orang alim adalah kepercayaan Allah di bumi- (Nya)”.
Tentu, ilmu kita sangat jauh jika dibandingkan dengan guru kita. Bahkan tidak sedikit guru kita memiliki keistimewaan yang tidak kita miliki. Seringkali kita hanya melihat sesuatu secara dzahir saja. Berbeda dengan guru kita yang bisa melihat hingga ke wilayah batin atau yang dikenal dengan kemampuan kasyaf. Kita dianjurkan untuk berhusnudzon dengan siapapun, apalagi dengan seorang guru yang telah membantu kita untuk mengenal Allah.
Dengan demikian, santri itu bukan rawan intervensi. Justru santri memiliki pegangan dalam memutuskan suatu pilihan. Namun, kita juga dianjurkan untuk mencari informasi yang valid tentang beberapa pilihan agar terhindar dari taklid buta.
Setiap orang memiliki guru dan rasionalitas masing-masing. Maka, kita tidak boleh menghakimi orang lain atas pilihannya. Selain itu, kita juga tidak boleh memaksakan pilihan orang lain agar sama dengan kita. Biarlah orang lain menerima dengan hati nuraninya sendiri.
Sayangnya, seringkali pesantren menjadi sasaran strategis bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi maupun golongan. Hal itu yang dapat menciderai kearifan pondok pesantren. Maka tidak jarang pondok pesantren begitu berhati-hati dalam menerima tamu untuk menghindari spekulasi negatif dari masyarakat di luar pondok pesantren.