Jihad Santri Masa Kini

78 views

 

Oktober menjadi bulan sukacita bagi para santri. Sebab, melalui Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Perayaan HSN kemudian menjadi agenda rutin setiap tahun.

Lahirnya kebijakan ini menjadi penanda baik bagi kaum sarungan. Kiprah kaum santri yang sebelumnya termarjinalkan, dipinggirkan, dipandang sebelah mata, kini mencapai momentumnya karena telah diperhitungkan di ranah publik.

Advertisements

Sesungguhnya, diakui atau tidak, sudah sejak dahulu peran kaum sarungan bagi negara ini tidak bisa terbantahkan lagi. Sebelum adanya otoritas lembaga pemerintahan yang sah, para kiai-lah yang mampu menggerakkan dan memobilisasi masa. Ketika Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menunda peperangan dari usulan Bung Tomo, maka peperangan pun belum dimulai. Dan, apa yang terjadi di lingkungan pesantren menunjukkan bahwa para santri akan sangat patuh, loyal, dan sami’na wa atho’na kepada pada kiai.

Santri memang dikenal sangat teguh memegang komitmen terhadap ajaran para kiai. Di pesantren, para santri dididik untuk satu komando dengan kiainya. Hal ini terbukti, ketika pasukan Sekutu dan Belanda yang terdeteksi berniat melakukan aneksasi Surabaya. Pola pembelajaran yang dilakukan bukan lagi semata-mata tafaqquh fiddin, melainkan secara tersirat mampu insersi jiwa nasionalisme. Kiai sebagai sosok teladan, berhasil mencetak serta menumbuhkan jiwa nasionalisme santri. Selain itu, para kiai menjadi garda terdepan dalam mengatur siasat melawan penjajah.

Peristiwa berkecamuk ketika memasuki bulan Oktober 1945. Tibalah tanggal 22 Oktober yang merupakan momentum bersejarah. Tepat pada tanggal tersebut, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mengumandangkan fatwa Resolusi Jihad, memberi pelecut semangat menggerakkan patriotisme santri bersama rakyat untuk bahu membahu menumpas penjajah guna mempertahankan kemerdekaan negara.

Penulis menangkap terdapat dua skema dalam gerakan santri menumpas para penjajah. Pertama, perlawanan secara fisik/persenjataan. Perlawanan ini dilakukan secara face to face dengan penjajah. Meskipun bermodal bambu runcing, para pejuang tidak pernah gentar terjun ke medan pertempuran. Kobaran semangat jihad itulah yang akhirnya membangkitkan semangat juang bangsa Indonesia.

Kedua, perlawanan dengan jalan soft/non persenjataan. Dalam buku Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, Gus Muwafiq menjelaskan bahwa perlawanan nonpersenjataan yang dilakukan santri terbagi menjadi tiga  cara, yaitu perang kultural, uzlah, dan doa.

Melalui perang kultural, para kiai sukses menumbuhkan semangat mempertahankan jati diri bangsa kepada para santri-santrinya. Para kiai meyitir sabda Nabi Saw, “Siapa pun yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. Hadis tersebut dapat ditafsirkan “siapa yang menyerupai Belanda, maka dia adalah bagian dari Belanda”. Maka kemudian para santri perlahan-perlahan membangun karakter bangsa melalui budaya sendiri.

Kemudian jalan uzlah atau mengasingkan diri. Ketika Belanda mempersekusi, melakukan kekerasan terhadap pondok pesantren, banyak dari pesantren yang bergeser masuk ke desa-desa. Selain sebagai tholabul ilmi, hal demikian guna tetap mempertahankan eksistensi dari pondok pesantren itu sendiri. Proses uzlah inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk lebih fokus meminta petunjuk dari Allah Swt.

Terakhir, ditempuh jalan doa atau suwuk dalam perang. Di samping melalui usaha secara lahiriyah, para kiai sadar bahwa orang beriman mempunyai senjata paling mujarab. Senjata tersebut adalah  “ad-du’aa silahul mukmin”. Orang beriman itu mempunyai senjata yang sangat ampuh, yakni doa. Atas dasar itu, kemudian kaum sarungan bermunajat kepada Sang Penguasa meminta petunjuk dimudahkan dalam melawan pasukan Sekutu dan Belanda.

Pada jalan ketiga ini, sebelum berangkat ke medan laga, semua persenjataan diberi sebuah ritual suwuk (pembacaan doa) oleh para kiai kasepuhan. Pemberian suwuk ini diharapkan menjadi tameng tameng tak kasat mata setiap langkah perjuangan. Tidak hanya itu, para santri dan masyarakat sipil pun diberi spirit suwuk dengan harapan mereka kebal dengan berbagai senjata, dan tidak sedikitpun menciutkan nyali mereka menghadapi moncong senjata para penjajah.

Dan benar saja, dikutip dari buku Karomah Para Kiai Ketika Perang, Samsul Munir Amin menjelaskan, KH Umar Sumberberingin Jember mampu menjaga pondok pesantrennya yang akan dihanguskan oleh penjajah. Ketika penjajah mengetahui pesantren tersebut menjadi markas pasukan gerilya, datanglah 4 buah truk pasukan sekutu yang ingin meluluhlantakkan pesantren.

Hal yang mengagetkan, 4 buah truk tersebut justru hanya berputar-putar di sekitar pesantren Sumberberingin dan tidak dapat masuk ke pesantren. Setelah kebingungan dan kelelahan tidak menemukan pondok yang dituju, para penjajah tadi lantas balik ke markasnya. Diperoleh keterangan, kala itu Kiai Umar beserta para santri melakukan mujahadah dan wirid untuk menangkal kedatangan pasukan Sekutu yang akan menyerbu pondok pesantrennya.

Di sisi lain, yang paling masyhur adalah cerita Kiai Abbas Buntet Cirebon. Dikisahkan sebelum berjuang, ia memerintahkan semua santri dan masyarakat sipil untuk mengambil air wudhu dan meminum air yang telah diberi doa. Setelah itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya memantau jalannya pertempuran. Beliau kemudian berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa. Tak dinyana, Kiai Abbas menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban pun terjadi. Talu (penumbuk padi) dari rumah warga berhamburan menerjang serdadu Belanda. Tidak hanya itu, ketika pihak Sekutu mengirimkan pesawat bomber Hercules, berkat doa dan sibakan sorban beliau, pesawat tersebut tiba-tiba meledak di udara sebelum beraksi.

Peristiwa bersejarah tersebut menunjukkan bahwa pada akhirnya kaum sarungan tidak hanya paham persoalan keagamaan, akan tetapi juga telah terbukti mampu berperan aktif dan solutif terhadap masalah kenegaraan. Inilah yang akhirnya menjadi tonggak nasionalisme Indonesia yang seharusnya menginspirasi anak bangsa untuk bertempur hingga Indonesia menjadi merdeka seutuhnya.

Menilik latar historis tersebut, maka perayaan hari santri tidak boleh hambar dan nihil dari nilai. Dosa besar rasanya jika berhenti pada taraf memeriahkan saja, kemudian abai terhadap penjajahan yang membelunggu hinga kini. Padahal dewasa ini, penjajahan era digital, hingga persoalan melepaskan belenggu bayang-bayang politik identitas 2024 masih hinggap di bumi Nusantara. Masih diperlukan peran strategis dari para santri dalam ikut mengatasi persoalan bangsa saat ini.

Pertama, persoalan era digital. Para santri harus berjihad untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kedaulatan digital. Penyadaran literasi digital berguna supaya masyakarat tidak terjebak dan diperbudak hingga pemujaan terhadap dunia digital yang akhirnya bertindak “konyol” karena berorientasi materialistik. Disisi lain, para santri harus turun gunung melakukan diseminasi ke berbagai media online guna menciptakan kontentasi komodifikasi konten-konten yang sehat dan berkualitas melawan kedangkalan pemahaman terhadap agama, melawan ujaran kebencian, hoaks, caci maki, dan hal-hal negatif yang berseliweran di media online.

Kedua, persoalan politik identitas. Para santri juga harus speak up tentang politisasi identitas. Berkaca dari preseden politik identitas terdahulu yang sudah mengkristal dilekatkan pada sentimen agama, kaum santri yang telah mendapat pendidikan keagamaan secara komprehensif harus memaklumatkan diri dan memainkan peran dalam mengamputasi politik identitas. Masyarakat (umum maupun digital) harus diberikan edukasi bahayanya dari politik identitas yang bisa mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Di samping itu ihwal pemilu, indikator rekam jejak semua kontestan pemilu harus jelas dan wajib tidak bertentangan dengan tatanan negara yang sudah lama berjalan (the old established system). Dengan pemetaan tersebut nantinya bisa diketahui kontestan yang indikatif kontrademokrasi atau tidak sejalan dengan spirit resolusi jihad.

Itulah hemat penulis tentang kontribusi yang bisa dilakukan santri masa kini dalam jihad kebangsaan. Semoga menjadi refleksi kita bersama untuk bertransformasi diri menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat bagi sesama dengan meneladan keotentikan perjuangan para kiai dan santri terdahulu. Wallahu’alam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan