Sepintas, ketika kata “Jombang” masuk ke dalam pikiran, banyak di antara kita membayang sebuah persepsi mengenai salah satu kabupaten di Jawa Timur itu. Dan, banyak pula di antara kita yang mengidentikkan Jombang dengan santri. Identifikasi ini memang telah lama melekat pada masyarakat luas. Label itu pun juga tidak hadir dengan sendirinya. Ada proses dan peristiwa panjang yang mengkonstruksi Jombang sehingga mempunyai label sebagai Kota Santri.
Untuk itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba menelisik bahwasannya label sebagai kota santri itu dapat hadir karena adanya memori kolektif yang hidup di ruang lingkup Jombang.
Secara garis besar, sebuah memori atau ingatan adalah hal yang disimpan oleh pikiran setiap manusia terhadap gejala atau peristiwa tertentu. Setiap individu pasti mempunyai ingatan yang berbeda-beda, namun tidak berarti bahwasannya ingatan setiap individu tidak ada yang sama. Sebuah peristiwa yang biasanya mempunyai akibat yang besar membuat peristiwa itu menjadi sebuah memori yang ditampung oleh banyak individu. Itulah yang disebut dengan memori kolektif. Secara gamblang, memori kolektif berarti adalah sebuah ingatan bersama atas satu atau dua hal yang menjadikannya tonggak dalam ingatan.
Lantas, memori kolektif apa yang tersimpan di Jombang?
Pertanyaan itu tentu saja bisa dijawab dengan pendekatan yang substansial. Jombang adalah sebuah kabupaten yang menjadi simbol dari lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Peran NU tentu saja mempunyai efek yang besar bagi Jombang dan Tanah Air ini.
Jika kita lihat dari sejarah awal berdirinya NU, tiga tokoh dari Jombang ini memiliki peran besar dan menentukan, yaitu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri. Walaupun kita juga mengetahui bahwasannya yang mempunyai andil dalam pelahiran NU juga banyak, semisal, Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Faqih Maskumambang Gresik, Kiai Ridwan Abdullah, dan masih banyak yang lainnya.