Jika melihat Kajen hari ini tak bisa dipisahkan dari peran seorang wali. Syekh Ahmad Mutamakkin, yang dikenal sebagai seorang wali besar, merupakan penyebar ajaran Islam di sekitar pantai utara Pulau Jawa, khususnya di Desa Kajen. Desa ini terletak di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Syekh Ahmad Mutamakkin diperkirakan hidup sekitar tahun 1645-1740.
Perjuangan Syekh Ahmad Mutamakkin membuahkan hasil. Kajen yang menjadi persemayamannya kini dikenal sebagai desa yang menjadi pusat pertumbuhan pondok pesantren, dan dipenuhi ribuan santri yang datang dari berbagai daerah, baik dari Jawa maupun luar Jawa. Desa Kajen sekarang terkenal dengan julukannya sebagai “Desa Santri”, karena ada puluhan pondok pesantren yang berdiri di sini. Bayangkan saja, pada tahun 2020, di desa tersebut terdapat lebih dari 60 pondok pesantren!.

Warga Kajen kini dikenal sebagai masyarakat yang religius, pembelajar dan penganut Islam yang taat, dan itu semua tidak terlepas dari dakwah Syekh Ahmad Mutamakkin. Keberadaan makam sang wali di sana menjadi salah satu buktinya. Tidak heran, kalau Desa Kajen yang awalnya sebuah desa biasa saja, sekarang justru menjadi desa yang melahirkan banyak tokoh, kiai, dan ulama. Desa Kajen pun berubah, dan kini menjadi tujuan ribuan santri dari berbagai penjuru untuk menuntut ilmu dan mengharapkan keberkahan dari Syekh Ahmad Mutamakkin.
Jika dilihat dari segi geografisnya, Desa Kajen merupakan sebuah wilayah padat penduduk yang terletak di kaki Gunung Muria, dengan wilayah yang luasnya sekitar 640.000 m². Hampir tidak terdapat perkebunan maupun persawahan yang dapat dikembangkan oleh masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Namun, di balik itu, ekonomi masyarakatnya berputar dengan baik. Data tersebut bisa diketahui dari artikel Bumdes Kadjen.
Jantung dari Desa Kajen terletak di sekitar makam Syekh Ahmad Mutamakkin. Banyak sekali bangunan yang menjajakan aneka produk bagi para peziarah maupun santri pendatang. Lokasi tersebut bisa penuh sesak dipenuhi oleh para santri, pedagang, maupun peziarah pada Bulan Muharram. Pada bulan tersebut dilaksanakan haul Syekh Ahmad Mutamakkin.
Karena banyak sekali lembaga pendidikan formal seperti sekolahan ataupun non-formal seperti pondok pesantren, maka desa ini menjadi permukiman padat penduduk, yang meliputi penduduk asli, santri pendatang, dan pelajar yang jumlahnya bisa sampai ribuan orang. Perubahan Desa Kajen menjadi destinasi santri menuntut ilmu dan mencari bekerkahan sang wali ini membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Salah satu sumber ekonomi utama yang bisa didapatkan oleh masyarakatnya, yaitu dengan berdagang berbagai macam produk barang, ataupun makanan dan minuman yang bisa meningkatkan usaha ekonomi mereka.
Banyaknya santri merupakan faktor utama yang menjadi penyebab masyarakatnya berprofesi menjadi seorang pedagang, karena para santri statusnya sebagai seorang pendatang, pasti akan membutuhkan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Hal inilah yang mendorong masyarakat Desa Kajen untuk berprofesi sebagai pedagang.
Dapat dilihat berbagai macam toko yang dibangun di desa tersebut, membuatnya seolah-olah seperti kota dengan gedung-gedung toko yang banyak dan mendominasi bangunan di sana. Terlebih di sepanjang Jalan Ngemplak hingga Bulumanis, penuh dengan deretan toko-toko yang memasarkan berbagai produk.
Salah satu toko kitab terbesar di desa tersebut terletak di sebelah timur makam Syekh Ahmad Mutamakkin. Di toko tersebut dijual banyak sekali kitab kuning, meja belajar, minyak wangi, dan barang-barang lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan belajar santri. Dari penjualan kitabnya saja, yang rata-rata harganya Rp 10.000 sampai Rp 25.000, dalam sehari bisa lebih dari 50 kitab. Dari sini, bisa disimpulkan berapa kira- kira keuntungan yang didapatkan oleh toko tersebut dalam sehari.
Menurut Pak Aziz, pemilik warung lokal yang terletak di depan salah satu pondok pesantren di sana, bahwa dengan berjualan, seorang pedagang bisa mendapat keuntungan ratusan ribu rupiah dalam sehari, baik pedagang keliling maupun yang menetap. Sebab, banyak dari kalangan santri yang keluar pondok pada jam-jam tertentu, untuk membeli makanan, minuman, ataupun kebutuhannya yang sudah habis.
Bisa kita simpulakan, dari hasil penjualan yang sudah bisa digunakan untuk menyambung hidup masyarakat dalam memperoleh kebutuhannya sehari- hari. Keuntungan tersebut bisa dibilang sangat cukup jika melihat dari profesinya sebagai pedagang lokal. Bahkan ada yang mendapat untung lebih besar daripada mereka yang bekerja di perkantoran.
Para santri yang mengenyam pendidikan di sana sepakat, jika mereka memerlukan apapun di Desa Kajen yang berhubungan dengan alat tulis, alat-alat inventaris pondok, ataupun keperluan sekolah sudah pasti tersedia. Tidak dimungkiri banyak santri yang betah tinggal di Kajen sampai puluhan tahun untuk menuntut ilmu, dikarenakan kenyamannanya dalam hal kelengkapan kebutuhan hidup.
Pada bulan suci Ramadhan, biasanya di Desa Kajen juga terdapat kampung yang sengaja dibuat di sebelah balai desa, yang khusus menjajakan takjil buka puasa. Kampung itu biasanya dinamai “Kampung Ramadhan” yang di dalamnya dijual berbagai menu berbuka puasa. Tempat itu merupakan tempat favoritnya para santri ketika menjelang berbuka puasa. Di sana, jika ada masyarakat ataupun pedagang luar yang ingin menjajakan dagangannya, maka mereka harus menyewa tempat terlebih dahulu sebesar Rp 80.000 per area untuk 15 hari Ramadhan. Sungguh, itu adalah sewa yang sangat murah sekali, kata salah satu warga.
Menurut KH Samu’in Wage, pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatus Syubban,di sela-sela pengajiannya mengajar kitab kuning kepada para santrinya, di Kajen tidak akan seramai ini bila tidak ada santri yang menghidupi Desa Kajen. Maka dari itu, warga Desa Kajen seharusnya berterima kasih kepada para santri, karena dengan adanya santri, Desa Kajen bisa ramai seperti sekarang ini.
Maka dari itu, agar tidak terjadi adanya ketimpangan sosial, sebaiknya ikatan sosialitas antara masyarakat dan para santri saling mengayomi sesama, sehingga timbulah sebuah simbiosis mutualisme. Semua kebutuhan santri disediakan oleh masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri bisa mendapat penghasilan dari hasil menjual berbagai macam alat tulis, kitab, baju, dan lain sebagainya yang kiranya dibutuhkan oleh para santri pendatang.