Pada tiap kisah yang dituturkan memiliki karakter masing-masing yang membentuk alurnya. Sedemikian rupa, akan menjadi menarik bagi sebagian kalangan, namun buruk untuk khalayak yang lain. Begitulah kiranya pesantren yang kami tinggali saat ini.
Riuh suara yang bukan merupakan suara aksi demonstran, namun merupakan wirid wajib bagi santri yang sedang mengabdi di sini. Menenangkan sekaligus membakar semangat pengabdian. Tak jarang santri mulai lupa tugas dan kewajiban menjaga Kalam-Nya. Karena merasa sudah tak lagi terkekang peraturan. Terlampau nyaman, melenakan.
Tidak jarang, riuh yang demikian itu juga membakar semangat warga sekitar pesantren. Tepatnya semangat untuk mengomentari dan selalu mengkritik. Saya sempat bingung tentang hal-ihwal ini. Apakah telinga mereka terbuat dari kertas? Yang mudah sekali tersulut api, kemudian menganggap sahut-sahutan wirid Quran tadi sebagai apinya. Bahkan sampai berani mengacungkan parang di hadapan Kiai kami lantaran merasa terganggu oleh ramainya anak-anak yang sedang mengaji.
Wahai, manusia!
Angin yang sejuk mengembus setiap hari. Menemani para santri mengaji. Pesantren yang semula sepi dari pepohonan, kini sudah ramai dinaungi saung-saung bambu. Tempat seperti inilah yang mereka gunakan untuk mengaji, bahkan untuk pembelajaran kelas formal.
Suara kicau burung jalak milik Kiai pun ikut meramaikan. Mengapa jalak? Sebab, jalak, menurut Kiai, merupakan perlambang budi pekerti yang luhur. “Jalak”, juga berarti “jaga akhlak!” Saya rasa ia pun ikut mengaji.
Saban hari, saat Kiai kedatangan tamu, dengan bangga beliau membawa tamu-tamunya itu untuk keliling pesantren. Sekadar melihat-lihat, tentunya setelah dijamu di kediamannya tadi.
Melihat pemandangan santri yang sedang belajar di geduang memang sudah biasa. Namun, melihat keadaan santri yang belajar formal di tempat lesehan seperti saung hal tak biasa bagi tetamu. Padahal, sejak awal berdirinya pesantren ini, santri sudah terbiasa belajar bernaungkan atap tenda. Layaknya tenda hajatan, tak bersisi, tak berlantai. Suara saling bersahutan tumpang tindih antara kelas-kelas yang terisi. Bukan tak ingin, akan tetapi pesantren cabang ini memang masih dalam tahap belajar berjalan sendiri. Karena selama ini disubsidi oleh pesantren pusat. Tidak mungkin mencekik wali santri dengan menambah bayaran bulanan.
Pengurus pesantren menyadari sejak awal harus mandiri dalam hal finansial. Oleh karenanya, santri diajarkan serta beternak dan bertani. Terasa dampaknya setelah memasuki masa pandemi. Memakan hasil bumi yang ditanam sendiri merupakan sebuah kepuasan tiada tara. Selain itu, bisa ikut mensejahterakan dompet pesantren dari hasil penjualannya.
Kembali ke tamu Kiai yang melihat pemandangan tak biasa tadi. Tamu itu pun bertanya, “Apakh tidak masalah kelas belajar seperti ini? Kan, suaranya sahut-sahutan. Nanti berisik bagaimana? Lalu apakah tidak masalah mencampurkan santriwan/wati dalam satu kelas? (Notabene santri tahfizh) Apakah mereka tidak lirik-melirik?”
Dibanjiri pertanyaan seperti itu tidak membuat Kiai terombang-ambing. Sebaliknya, beliau menjawab dengan penuh ketenangan.
“Kami bahkan telah melalui masa lebih parah daripada ini. Buktinya, mereka tetap berprestasi meski dengan keadaan demikian. Alhamdulillah, beberapa angkatan alumninya sudah banyak yang meneruskan belajar di luar negeri. Mereka terbiasa, hal demikian (kesulitan) menjadikannya peka terhadap segala rangsangan lingkungan. Tidak lagi terganggu oleh euforia-euforia yang akan terjadi di luar sana. Telinga mereka hanya akan mendengar apa yang disampaikan di depan kelas. Dalam pendidikan, mereka mengejar hal yang substansial.”
Sambil memandang ke arah langit, beliau melanjutkan dengan tenang, “Soal lirik-melirik, kami sangat ingin kelas terpisah antara santriwan/wati. Tapi, kan, tenaga pengajar tidak mencukupi, lagi pula santrinya di sini belum banyak-banyak amat. Masih sekitar 150-an. Adanya mata mereka, ya bisa melirik. Tapi, kan, hatinya belum tentu melirik. Banyak orang yang bahkan matanya sama sekali tak melirik. Tapi hatinya sudah bergejolak.”
Panca indera diciptakan memang sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tapi hatilah yang menentukan. Apakah akan dibawa ke arah kemaksiatan atau sebaliknya. Semua yang terjadi di pesantren ini berdasarkan kesadaran. Karena itulah yang ditanamkan oleh Kiai. Maka, tak pernah ada tuntutan harus demikian dan demikian oleh Kiai.
“Kalau kalian sadar apa status kalian, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan dan tinggalkan,” ucap Kiai suatu waktu berbicara di hadapan santrinya.
Saya tidak menemukan nama pesantren dan dimana lokasinya dari artikel ini. Apakah memang dirahasiakan?