Kekerasan pada Anak, PR Pemerintahan Baru

14 views

Hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Trennya bukannya menurun, justru semakin mengkhawatirkan. Jika tak mampu membangun ekosistem pendidikan yang ramah anak, mimpi lahirnya generasi emas akan jadi omong kosong belaka.

Jika kita mencermati data-data yang terpublikasi, baik yang bersumber dari lembaga resmi negara maupun lembaga-lembaga independen, fenomena kekerasan pada anak dari tahun ke tahun trennya cenderung meningkat dan kian mencemaskan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), dalam tiga tahun terakhir tren peningkatan kasus kekerasan terhadap anak semakin mencemaskan.

Advertisements

Seperti terlihat pada tabel, pada tahun 2021, misalnya, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 25.210. Dari jumlah itu, 14.446 korban tergolong anak-anak. Pada 2022 jumlah kasusnya naik, 27.593. Dari jumlah itu, 16.106 korbannya anak-anak. Lalu pada 2023, jumlah kasusnya 29.883 dan 18.175 korbannya anak-anak. Rerata kenaikannya sekitar 2.000 kasus. Terakhir, pada 2024 ini, dari Januari hingga Oktober, jumlah kasusnya mencapai 21.900 dan sebanyak 13.563 korbannya adalah anak-anak. Dari keseluruhan jumlah anak-anak yang jadi korban, sekitar 80 persennya adalah anak-anak perempuan.

Jumlah Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak

TahunKasus AnakSemua Kasus
201911.00520.530
202011.26420.499
202114.44625.210
202216.10627.593
202318.17529.883
2024*13.56321.900

Sumber: Simfoni PPA.

Mungkin, secara persentase akan terlihat sepele jika dibandingkan dengan total populasi anak yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencapai 30,2 juta jiwa. Namun, tren fenomena kekerasan terhadap anak yang terus meningkat ini tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele dan sekadar dilihat sebagai angka. Ada beberapa alasan kenapa masalah ini sama sekali tak boleh dianggap remeh.

Pertama, data yang terekam dalam Simfoni PPA tersebut berbasis pada kasus-kasus yang dilaporkan pada pihak-pihak berwenang. Diduga, banyak kasus kekerasan terhadap anak yang didiamkan atau tidak dilaporkan ke pihak berwenang. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan data tersebut hanyalah fenomena pucuk gunung es. Semakin didalami, bisa jadi kasusnya lebih mengerikan dari yang tampak di permukaan.

Kedua, kekerasan yang terjadi terhadap anak-anak tersebut eskalasinya cukup luas. Tidak hanya kekerasan verbal, psikis, dan penelantaran, tapi juga kekerasan fisik dan seksual yang tidak hanya mengancam jiwa anak-anak, tapi juga merenggut masa depan mereka. Bayangkahlah masa depan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau perkosaan. Sebagai gambaran, pada 2023 jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. Berikutnya adalah kekerasan fisik sebanyak 4.025 kejadian dan kekerasan psikis sebanyak 3.800 kejadian. Artinya apa? Tiap tahun ribuan anak-anak kita menjadi korban kekerasan seksual dan fisik.

Ketiga, kasus kekerasan terhadap anak, baik itu kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, justru banyak terjadi di lingkungan lembaga pendidikan. Mirisnya, juga banyak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren. Bahkan, Komnas Perempuan pernah mengungkapkan bahwa pesantren menempati urutan kedua setelah perguruan tinggi dalam hal banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Jika mencermati data-data dan sebaran kasus kekerasan terhadap anak tersebut, yang dari tahun ke tahun trennya terus meningkat, artinya kita sebagai bangsa tak bisa melindungi anak-anak kita sendiri, tak bisa melindungi masa depan kita sendiri. Bahkan, menyediakan ekosistem pendidikan yang baik, yang ramah anak pun, kita tak mampu. Data tersebut, dengan sendirinya, membuktikan bahwa selama ini kita telah abai terhadap nasib dan masa anak-anak kita sendiri. Jika negara hadir dan tak abai, sudah bisa dipastikan angka-angka kasus kekerasan terhadap anak-anak akan terus mengalami penurunan, bahkan seharusnya sampai ke tingkat nol.

Senyampang baru terjadi pergantian kepemimpinan nasional sejak 20 Oktober lalu, inilah salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Kita tahu, sesuai dengan janjinya di masa kampanye, Prabowo punya semangat untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia melalui program makan siang bergizi gratis.

Tapi percayalah, perbaikan gizi saja tidak cukup untuk bisa melahirkan generasi emas. Kuncinya justru ada pada perbaikan ekosistem pendidikan kita, salah satunya ekosistem pendidikan yang ramah anak. Tanpa memperbaiki ekosistem pendidikannya, program perbaikan gizi tak ubahnya sebatas “penggemukan sapi di kandang macan”. Dan mimpi akan melahirkan generasi emas di tahun emas 2045 akan menjadi omong kosong belaka.

Karena itu, fenomena pucuk gunung es kekerasan terhadap anak ini harus menjadi salah satu program prioritas pemerintahan baru, khususnya Kemen-PPPA yang nomenklaturnya memang di bidang itu. Ia harus menginisiasi dengan melibatkan kementerian terkait untuk mendesain program dan berani memasang target kapan tingkat kekerasan terhadap anak harus nol. Setidaknya, harus bisa membalik tren agar dari tahun ke tahun angka kasus kekerasan terhadap anak terus menurun, bukan malah sebaliknya. Ukurannya gampang, jika dua-tiga tahun lagi angka kekerasan terhadap anak trennya masih naik, berarti kita gagal melindungi anak-anak kita sendiri. Dan lupakan mimpi tentang generasi emas.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan