Pemuda hari ini merupakan cerminan pemimpin dan tulang punggung bangsa di masa depan. Begitu pentingnya peran pemuda, sehingga salah satu presiden pertama Indonesia, Bapak Ir Soekarno, dalam salah satu cuplikan pidatonya pernah berkata, “Berikan aku 1000 anak muda maka aku akan memindahkan gunung tapi berikan aku 10 pemuda yang cinta akan Tanah Air maka akan aku goncangkan dunia.”
Cuplikan pidato Soekarno ini mengandung pengertian bahwa pemuda merupakan tulang punggung bangsa. Pemuda ialah agent of change dan harapan di masa depan. Di tangan para pemuda inilah perubahan dari sesuatu yang lemah menuju perubahan yang kuat dan lebih baik lagi dalam aspek kehidupan.
Perubaha ini akan tercapai jika pemudanya terus bangkit melakukan perubahan melalui agenda-agenda transformatif dan berkemajuan. Dengan agenda-agenda itu akan memungkinan bagi mereka mampu memberikan angin segar dalam rangka mewujudkan Indonesia emas di masa depan yang lebih baik.
Buku karya salah satu kader Ansor Jawa Timur ini, yakni H Musaffa Safril, mengurai poin-poin kepemimpinan ideal para kiai pesantren NU yang mencerminkan keberhasilannya dalam melanjutkan roda organisasi yang dipimpinnya menjadi organisasi terbesar di Indonesia. Keberhasilan ini menunjukkan kesuksesan luar biasa dari para founding father NU, sehingga gaya kepemimpinan mereka menjadi inspirasi sekaligus motivasi bagi kader muda NU untuk bisa meneladani kiprah-perjuangannya.
Berbicara kepemimpinan pemuda, kepemimpinan kalangan milenial mempunyai preferensi berbeda daripada generasi pendahulunya. Para pemuda dipandang mempunyai potensi dan kemampuan bersaing untuk menunjukkan bakatnya dalam memimpin di era yang berkemajuan seperti saat ini.
Adalah gaya kepemimpinan generasi milenial yang mempunyai karakteristik pemimpin yang lincah, melek teknologi, haus akan informasi, dan publikasi, serta kemampuannya mengatasi berbagai persepsi negatif.
Mereka merupakan aset bangsa dan agama serta menjadi penentu arah Indonesia dari berbagai bidang. Karena itu, seyogiyanya para pemuda mulai memikirkan dan merumuskan bagaimana menyusun langkah-langkah yang tepat untuk lebih bisa menyeimbangi kemampuannya membawa perubahan dari tradisi lama yang sudah menua dan mulai kadaluwarsa. Hal ini penting, agar mampu memasuki babak baru dalam menyiasati dinamika perubahan masyarakat yang lebih menjamin ketangkasan dan kebahagiaan masyarakat di masa depan.
Untuk mewujudkan generasi emas yang berkarakter dan berkeadaban, ada beberapa poin yang hendak disampaikan dalam buku ini, yaitu memperkuat pondasi kaum muda, di antaranya: pertama, kebangkitan intelektual; kedua, kemandirian; ketiga, kewirausahaan (enterpreneurship) (hlm. v) yang sesuai dengan tuntunan agama.
Sebagai generasi penerus kepemimpinan yang bercorak transformatif di masa depan, hemat penulis, pemuda sekarang harus mempunyai semangat kebangkitan intelektual, kemandiran, dan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang inheren dalam diri mereka. Dengan begitu, mereka bisa memberikan dampak yang signifikan dalam mengatasi berbagai macam persoalan di masa sekarang hingga di masa yang akan datang.
Mari geser sedikit jendela rumah kita bersama agar bisa mengetahui persoalan apa yang terjadi di luar sana. Seringkali kita melihat, ada banyak drama dengan tema yang sama yang tak kunjung selesai banyak disaksikan di luar rumah, seolah drama ini tak pernah berakhir. Misalnya, gesekan-gesekan sosial yang berujung pada konflik serius yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kekerasan ini bahkan sering terjadi pengulangan yang seakan-akan dibanarkan dan diterima sebagai hal yang biasa dalam kehidupan.
Kalau dilacak dari beberapa pendapat ahli, pendapat Adeng Muchtar Ghazali (2013), misalnya, mengatakan banyak aksi-aksi kekerasan disangkutpautkan dengan persoalan agama karena diakibatkan oleh beberapa faktor.
Pertama, faktor kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang rentan gesekan dan perpecahan. Kedua, faktor pemahaman keagamaan yang menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap pandangan dan keyakinan orang lain. Ketiga, kebijakan pemerintah yang kurang memfasilitasi fakta pluralitas keyakinan dan kehidupan keberagamaan secara umum.
Yang lebih spesifik lagi pendapat Arief Budiman (t.th: 195-196). Menurutnya, seandainya terjadi pemerataan ekonomi di Indonesia dan demokratis dalam kehidupan politiknya, memperbesar kemungkinannya terjadinya perdamaian dan menghindari paham-paham yang berpotensi pada kecendrungan kekerasan, intoleran dan bahkan radikal.
Sampai di sini dapat penulis simpulkan bahwa timbulnya aksi-aksi kekerasan bukan semata faktor agama sebagaimana telah disalahpahami selama ini. Ada faktor lain yang menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakmampuan mereka menyikapi realitas yang ada. Pada gilirannya, mereka menggunakan instrumen agama untuk memperkuat supremasi mereka. Atas ketidakmampuan menyikapi realitas yang ada, mereka kembali kepada agama dan melakukan pemerkosaan kesucian teks yang legal formal yang bersifat—meminjam istilah Prof. Abd. A’la—meta-historis yang mengandung teks dan konteks, dipahami secara sepotong (tekstual) dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Melalui buku ini, penulisnya, H Musaffa Safril, memandang pemuda sebagai lokomotor tegaknya kepemimpinan ideal yang dapat memberikan angin segar terhadap perubahan yang lebih baik dan menjanjikan di masa depan. Untuk itu, kaum milenial disarankan bisa meneladani kiprah dan perjuangan para kiai NU dalam melakukan langkah-langkah perubahan yang dikombinasikan dengan kemampuannya secara konsisten dan integratif ke dalam jamiyah NU.
Melalui buku ini, Musaffa Safril menaruh harapan besar kepada kader muda penerus perjuangan para ulama. Kuncinya adalah semangat kebangkitan intelektual, kemandiran, dan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang inheren dalam diri mereka. Selamat membaca.
Data Buku
Judul Buku: Kepemimpinan Visioner Meneladani Pemikiran Ulama Besar NU
Penulis: H. Musaffa Safril
Penerbit: Bildung
Tahun Terbit: Mei 2024
Tebal: 166 Halaman
ISBN: 978-623-8588-08-4