Selasa (21/6) kemarin, hampir seharian saya bersama Kang Zastrouw dengan sejumlah kawan di lingkungan kampus Universitas Indonesia. Banyak hal yang kami obrolkan, termasuk membahas agenda-agenda jejaring duniasantri dan duniasantri.co. Tentu, di sela obrolan, banyak humor atau joke yang dilontarkan Ngatawi Al-Zastrouw, nama lengkap Kang Zastrouw, yang membuat suasana jadi ger-geran.
Salah satunya adalah cerita ibu kandung Kang Zastrouw menangisi anaknya. Suatu hari, ketika Kang Zastrouw sedang sungkem, ibunya menangis sesenggukan. “Duh Pengeran, apa salah ibu sehingga anakku ini menjadi pengikut Buddha…”
Saat itu, ibu kandung Kang Zastrouw ini mengira anaknya telah berpindah agama, menjadi pengikut Buddha. Padahal, sedari kecil sang ibu telah berusaha keras bisa memondokkan anaknya bahkan hingga kuliah di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri/UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Harapannya, agar sang anak kelak menjadi kiai. Bahkan, sang ibu begitu bungah ketika tahu Kang Zastrouw kemudian mengabdi pada Gus Dur. “La kok sekarang malah jadi pengikut Buddha,” kata sang ibu dengan tangisnya sambil mengelus dada.
“Lo, kata siapa saya jadi pengikut Buddha?” tanya Kang Zastrouw keheranan kepada ibunya.
“La ya itu… kata orang-orang kamu sekarang sudah jadi budayawan. Bukankah itu artinya jadi pengikut Buddha,” timpal sang ibu.
“Lo, salah itu, Bu. Bukan begitu,” sahut Kang Zastrouw.
“La terus piye…?”
“Budayawan itu, Bu, orang yang berada setingkat di atas orang gila. Tapi, masih setingkat di bawah kiai…” jawab Kang Zastrouw.
“Oh, masih setingkat di bawah kiai to. Yo wes tidak apa-apa, asal masih ada bau-bau kiainya…”