Sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, Pondok Pesantren Langitan di Kabupaten Tuban ini sudah melahirkan banyak ulama yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Meskipun, sekarang ini diberi nama Al-Ma’had al-Islamy al-Syafi’i, akan tetapi nama Langitan memang tidak bisa hilang begitu saja. Nama Pondok Langitan tetap melekat kuat.
Pada awalnya, Pondok Pesantren Langitan dibangun di atas tanah ladang di tepi sebelah utara Bengawan Solo. Karena merupakan daerah yang sering terkena dampak banjir, lokasi pesantren dipindahkan di sebelah utara Tangkis bagian utara di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Tuban dan Babat dengan Surabaya. Pemindahan lokasi dilakukan pada 1904 M.
Tuban sendiri adalah kota di Pantai Utara Jawa Timur yang ramai dan penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain sebagai bandar berpengaruh, juga merupakan pusat pengembangan agama Islam selain di Sedayu, Gresik, Surabaya, dan lainnya. Daerah Widang, letak Pondok Pesantren Langitan berada, adalah daerah yang ramai. Lokasinya yang dekat dengan Bengawan Solo merupakan jalur lalu lintas perdagangan dan penambangan potensial bagi masyarakat dan para pedagang dari kota-kota besar menuju kota-kota dan tempat perdagangan yang terletak di sepanjang perairan tersebut, baik yang ada di daerah pedalaman maupun yang ada di tepi pantai.
Sejarah nama Pondok Pesantren Langitan memiliki beberapa versi. Namun, satu sama lainnya saling melengkapi. Pertama, Langitan merupakan perubahan dari kata Ngelangitan, gabungan dari kata Ngelangi (Jawa) yang berarti berenang dan Wetan (Jawa) yang berarti Timur. Hal ini dikaitkan dengan cerita adanya seseorang yang bermaksud tirakat dengan berenang di Sungai Bengawan Solo dalam tujuh kali putaran dari arah Barat ke Timur. Pada putaran terakhir ia keluar dari air dan bertemu dengan Syeikh Muhammad Nur. Sejak saat itulah dinamai dengan Pesantren Ngelangitan.
Kedua, Langitan merupakan perubahan dari kata Plangitan, kombinasi dari kata Plang (Jawa) berarti papan nama dan Wetan (Jawa) berarti Timur, yang dihubungkan dengan berdirinya pesantren tepat di dekat Plangwetan. Dan sejak saat itu pondok pesantren ini dinamakan Plangitan. Asal usul nama yang kedua ini diamini oleh salah satu pengasuh, yaitu KH Ahmad Marzuki Zahid.
Dalam periode perintisannya, Pesantren Langitan diasuh oleh KH Muhammad Nur, seorang guru agama Islam yang berasal dari Tuban. Beliau memulai perintisan pesantren dengan mengadakan tabligh dari rumah ke rumah ataupun di rumahnya sendiri, di atas tanah ladang di tepi utara Bengawan Solo. Pengajian dilakukan setelah salat Ashar dan Maghrib.
Melihat cara KH Muhammad Nur menyampaikan pengajiannya, banyak masyarakat yang kemudian terdorong untuk mengirimkan putra-putranya mengikuti pengajian sehingga menggerakkan KH Muhammad Nur untuk mendirikan langgar, pondok, dan sarana lainnya.
Perkembangan Pondok Pesantren Langitan terbilang cukup pesat dari waktu ke waktu. KH Muhammad Nur sebagai perintis awal mengasuh pondok pesantren selama 18 tahun. Beliau wafat pada 30 Jumadil Awwal 1297 H. Sebelum wafatnya, pesantren sudah diserahkan kepada putranya, KH Ahmad Shaleh. Sepeninggalan KH Ahmad Shaleh, kepemimpinan pesantren digantikan oleh menantunya KH Chazin. KH Chazin mengasuh pondok pesantren selama 20 tahun.
Dua periode pengasuh setelah masa perintisan awal merupakan masa perkembangan dari Pondok Pesantren Langitan. Setelah KH Chazin wafat pada tahun 1340 H/1921 M, beliau digantikan oleh menantunya KH. Abdul Hadi Zahid. Pada masa KH Abdul hadi Zahid inilah sistem pendidikan di Pondok Pesantren Langitan terbilang mengalami pembaharuan pesat.
Sosok KH Abdul Hadi Zahid
KH Abdul Hadi Zahid dilahirkan pada 17 Rabiul Awwal 1309 H di Desa Kedungpring, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Beliau adalah putra pertama dari pasangan KH Ahmad Zahid dan Nyai ‘Alimah. Ayahnya merupakan seorang guru agama dan ulama terkemuka di Kauman Kedungpring, Lamongan. Pendidikan beliau dimulai sejak kecil dengan belajar membaca Al-Qur’an, kitab Safina an-Najah, serta latihan ibadah di bawah bimbingan sang ayah. Beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Kemisik, Lamongan dengan mendalami pengetahuan tentang ilmu tajwid, Ummu al-Barahin, dan lain sebagainya di bawah bimbingan Kiai Abdul Malik.
Pondok Pesantren Langitan menjadi tujuan berikutnya dalam menimbah ilmu ketika beliau berusia sebelas tahun. Selama delapan tahun beliau memperdalam fikih, tauhid, akhlaq, ilmu alat, tasawuf, dan lain sebagainya di bawah bimbingan KH Chazin. Beliau juga berguru kepada seorang ulama masyhur, KH Kholil Bangkalan, selama tiga tahun di Pondok Pesantren Kedemangan di Bangkalan, Madura. Perjalanan pencarian ilmunya tidak berhenti begitu saja. Di usia 23, beliau terus menuntut ilmu agama Islam ke Pondok Pesantren Jamsaren, khusus memperdalam ilmu fikih di hadapan Kiai Idris, seorang ulama terkemuka pada perempat pertama abad ke-14 Hijriyah di Solo, Jawa Tengah.
Setelah menimba ilmu di berbagai tempat, beliau pun kembali ke Pondok Pesantren Langitan. Di Langitan beliau tidak hanya kembali belajar, tetapi juga membantu mengajar materi ilmu agama kepada para santri. Hal tersebut mendorong KH Chazin untuk mengambilnya sebagai menantu. Beliaupun dinikahkan dengan salah satu putrinya yang bernama Nyai Djuwairiyah, dan menikah pada usia 25 tahun. Pada usia yang relatif muda, sekitar 30 tahun, KH Abdul Hadi Zahid sudah menerima tugas sebagai pengasuh Pondok Pesantren Langitan.
KH Abdul Hadi Zahid dikenal sebagai sosok yang penuh ketekunan dan optimisme. Berbekal ilmu dan pengalaman yang diterimanya dari berbagai pondok pesantren serta jargon yang dipegangnya “al-muhafadlotu ‘ala al-qodim as-sholih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah”, memelihara yang lama dan baik, di samping mengambil yang baru yang lebih baik. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Langitan dengan membawa perkembangan juga pembaharuan yang signifikan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, organisasi, sarana, dan lain sebagainya. Dalam bidang pendidikan, pada 1949 M, beliau mulai mengenalkan dan mengembangkan sistem pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Falahiyah dan Madrasah Mu’allimin Langitan, di samping pengajian Sorogan dan Wetonan tetap dilestarikan.
Ketika terjadi masa peralihan pemerintahan dari pendudukan Belanda ke Jepang, seluruh kegiatan Pondok Pesantren Langitan sempat ditutup, karena sebagian siswa pulang kampung untuk bergerilya sedangkan kompleks Pondok Pesantren Langitan diduduki oleh tentara Jepang. Arsip dan dokumentasi Pondok Pesantren Langitan dirusak dan dibakar habis oleh Jepang.
Pada tahun 1945-1949, tepatnya pada masa revolusi, penutupan pondok pesantren terus berlanjut karena sebagian besar santri menggabungkan diri pada barisan Sabilillah yang bermarkas besar di Malang. Setelah masa revolusi, tahun 1961 M, pengajian Sorogan dan Wetonan kembali diselenggarakan, kali ini bukan hanya untuk santri putra, tetapi juga untuk santri putri. Madrasah Ibtidaiyah Falahiyah yang semula ditutup kembali diaktifkan pada tahun 1969 M. Di samping itu juga dibuka dan diselenggarakan pendidikan tingkat Madrasah Tsanawiyah.
Kepemimpinan Kiai Ahmad Zahid terus berlanjut. Berbagai kegiatan ekstra kurikuler diselenggarakan untuk menunjang kegiatan santri. Pengembangan organisasi disempurnakan dengan membentuk organisasi intren pondok pesantren, di antaranya adalah Jamiyatul Mubalighin, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai tempat latihan berpidato yang didirikan pada tahun 1960 M. Jamiyyatul Qurro’ Wal Huffadz, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai tempat latihan membaca Al-Qur’an, didirikan pada tahun 1961 M. KESPOL, yaitu organisasi keluarga pondok pesantren, berdiri pada tahun 1966 M. Majelis Bahtsul Masail al-Waqiah, yaitu lembaga forum diskusi dan mubahatsah yang membahas persoalan pemecahan hukum yang terjadi di masyarakat, didirikan pada tahun 1967 M.
Meningkatnya jumlah santri menjadi alasan sarana prasaran semakin ditingkatkan pula. Bangunan diperbaiki dan ditambahkan, seperti asrama bagi santri putra dan putri, gedung Madrasah Falahiyah, perluasan musholla, kamar mandi, sumur, dan sebagainya. Jumlah buku-buku pustaka ditambah, baik yang berbahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris. Pada masa ini jumlah santri terus meningkat. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti daerah-daerah di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madura maupun Sumatera. Kala itu berjumlah kurang lebih 600 orang.
Kepemimpinan KH Abdul Hadi Zahid sebagai pengasuh Pondok Pesantren Langitan terbilang cukup lama, hal ini berlangsung selama kurang lebih 50 tahun. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa kepemimpinannya, beliau berhasil membuat banyak sekali perubahan dan kemajuan signifikan bagi Pondok Pesantren Langitan. KH Abdul Hadi Zahid wafat pada tahun 1391 H/1971 M. Dimakamkan di kompleks pesarean keluarga di Desa Widang. Sepeninggalan beliau, kepemimpinan pondok pesantren Langitan digantikan oleh KH Ahmad Marzuki Zahid dan KH Abdullah Faqih.