Pondok Pesantren (PP) Tanwirul Hija berlokasi di Desa Cangkreng, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pesantren ini berjarak sekitar 17 Km ke arah barat dari pusat Kota Sumenep. Sast ini pesantren ini mencapai keemasannya di bawah kepemimpinan KH Dumairi Asy’ari. Di lembaga pesantren ini terdapat pendidikan PAUD, RA, TKA/TPA, MI, MD, MTs., dan SMA Tanwirul Hija.
Keberadaan PP Tanwirul Hija tidak lepas dari pendirinya, yaitu KH. Khotib bin Abdurraheim. Beliaulah sebagai peletak pondasi awal berdirinya PP Tanwirul Hija yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indinesia adalah “Pencerah Akal”. Hal ini dimaksudkan oleh Kiai Khotib —demkian warga Cangkreng biasa memanggil—, agar eksistensi pesantren yang berdiri pada tahun 1950 ini menjadi mercusuar bagi seluruh masyarakat sekitar.
Masa Kecil dan Pendidikan
Kiai Khotib tumbuh dan besar di desa Cangkreng Lenteng Sumenep, lahir pada tahun 1914 M. Ayah Beliau, K. Abdurraheim, berasal dari Desa Poreh Lenteng Sumenep, memiliki komitmen untuk mendidik putranya itu menjadi anak yang baik, berbakti kepada kedua orang tua, serta bermanfaat bagi bangsa dan negara. Sejak kecil Khotib sudah dibiasakan dengan kegiatan belajar, khususnya dalam bidang keagamaan.
Lingkungan keluarga yang agamis turut berperan dalam membentuk karakter keagamaan Khotib. Karena keluarga Khotib memandang bahwa agama (Islam) menjadi pusat ajaran, sehingga Khotib kecil tidak lepas dari pengawasan yang agamis. Namun demikian tidak ada pola khusus yang diberikan kepada Khotib kecil terkait dengan pengajaran keagamaan yang dimaksud.
Sebagaimana anak pada umumnya, Khotib kecil belajar di sebuah lembaga pendidikan yang tidak formal. Hal ini karena pada saat itu, sekolah formal termasuk langka. Sehingga selain belajar kepada kedua orang tua, Khotib kecil juga belajar di surau (langgar) layaknya anak-anak pada umumnya. Tetapi pondasi pembelajaran ini yang kemudian menjadikan Kiai Khotib adalah sosok pejuang pendidikan yang memiliki dedikasi yang tinggi.
Sejak usia dini Khotib kecil telah diajarkan nilai-nilai keagamaan. Dasar-dasar keislaman telah dibentuk sejak Khotib masih sangat kecil. Hal itu pula yang kemudian menjadikan Khotib suka untuk belajar dan senang untuk berjuang. Pantang berputus asa dan tidak mudah menyerah. Karakter pembelajar dan pejuang terbentuk oleh lingkungan keluarga yang sangat mendukung.
Hijrah Edukasi
Setelah belajar di sekitar tempat tinggal sendiri, kemudian Khotib melanjutkan belajar di sebuah pesantren. Pesantren tempat belajar pertama, saat Beliau masih berumur kira-kira 15 tahun, adalah sebuah pondok yang berada di Asta Tinggi Sumenep. Pondok ini dipimpin oleh KH Abd Sujak. Setelah itu Khotib yang masih belia melanjutkan pendidikan ke PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Di pesantren ini Khotib bermukim di daerah Latee hingga beberapa tahun lamanya. Pada saat itu PP Annuqayah daerah Latee dipimpin oleh KH Abdullah Sajjad.
Hijrah edukasi adalah istilah yang tepat bagi Khotib kecil untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang akan membawa Beliau ke kehidupan yang sesungguhnya. Karena hidup adalah sebuah pengabdian, maka mengabdi untuk bangsa (masyarakat Cangkreng) adalah target yang tidak dapat dielakkan.
Setelah melakukan pembelajaran bagi dirinya sendiri, maka kemudian tiba saatnya Kiai Khotib untuk mengabdikan diri pada masyarakat. Tidak mudah bagi Kiai Khotib untuk mengajak warga sekitar ke arah yang benar dalam bergama. Pada saat itu masyarakat masih dipengaruhi oleh berbagai khurafat, lelaku animisme dan dinamisme, pengaruh Hindu dan Budha, serta perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya.
Pada tahun 1944 M, beliau menikah dengan Nyai. Hj. Raudlah Binti H Ishak, dan beberapa tahun kemudian setelah menikah beliau mendirikan pondok pesantren Tanwirul Hija tepatnya pada tahun 1950 M. Dan ini merupakan cikal bakal berdirinya PP Tanwirul Hija yang eksis hingga saat ini.
Mendirikan PP Tanwirul Hija
Atas dasar kondisi masyarakat Cangkreng yang demikian memprihatinkan, kemudian Kiai Khotib bersama istri (Hj Raudlah) memprakarsai berdirinya sebuah pondok pesantren. Lembaga pesantren yang dimaksud adalah PP Tanwirul Hija. Lembaga ini kemudian menjadi pusat pengajaran, khususnya dalam pengetahuan Islam.
Santri pertama di PP Tanwirul Hija berjumlah sekitar kurang lebih lima orang. Diantaranya adalah KH Moh Ikhsan Lembung, KH Abdurrahman Poreh, KH Suwaid Pinggir Papas, KH Abdul Gani Poreh, dan K Abdul Bari Poreh. Mereka merupakan santri-santri pertama yang menjadi cikal bakal keberadaan pondok pesantren Tanwirul Hija sampai sekarang.
Tentu saja, Kiai Khotib mendirikan pesantren tidak semudah yang dibayangkan. Beliau menghadapi berbagai tantangan, terutama berasal dari orang-orang sekitar yang tidak senang dengan langkah-langkah yang Kiai Khotib lalukan. Akan tetapi semua itu Beliau hadapi dengan hati ikhlas dan lapang dada. Pada akhirnya Kiai Khotib memperolah dukungan dari warga sekitar, setelah melalui proses yang tidak gampang.
Kiai Khotib adalah sosok yang tidak mudah menyerah. Bagi Beliau, berjuang untuk kemaslahatan umat pasti akan mendapat ujian dan cobaan. Ujian dan cobaan bisa datang dari mana saja. Termasuk dari dalam diri sendiri. Untunglah, Kiai Khotib punya pasangan hidup (istri) yang mendukung penuh terhadap perjuangan Beliau. Hj Raudlah (istri Kiai Khotib) menjadi motor penggerak perjuangan Kiai Khotib untuk memajukan pesantren.
Kembali Kepada-Nya
Tepatnya Jumat, 24 Oktober 1977 M. Kiai Khotib bin Abdurraheim wafat. Beliau kembali ke pangkuan Allah SWT. Namun beberapa waktu sebelum wafat, Beliau sempat mengumpulkan beberapa kerabat dan handai tolan untuk meneruskan perjuangan Beliau. Demi masa depan PP Tanwirul Hija, maka harus ada pewaris estafet kepemimpinan supaya lembaga pesantren yang telah berdiri tetap eksis sampai waktu yang tidak berbatas.
Dalam musyawarah tersebut beliau menunjuk menantu ponakan dari istri, suami dari Nyai, Hj Rumanah binti Ishak, yaitu KH Asy’ari bin Mustafa dengan wakilnya KH. Imam Mawardi bin H Muhtar yang juga merupakan suami dari ponakan dari istrinya, Nyai Hj. Rahmah binti Zainuddin, sebagai penerus sesuai hasil dari kesepakatan bersama antara dewan guru dan tokoh masyarakat pada waktu itu. Keputusan itu sangat tepat agar PP Tanwirul Hija tidak kehilangan tokoh pemimpin dan akan terus berkembang sesuai dengan zamannya.
Selanjutnya, PP Tanwirul Hija berjalan sesuai dengan takdir-Nya. Ada masa-masa sulit dan sangat mengenaskan. Sehingga keberadaan pesantren ini berada di antara hidup dan mati. Hal itu menjadi catatan sejarah timbul dan tenggelamnya pesantren yang saat ini begitu megah dan mewah. Artinya bahwa kemegahan pesantren yang saat ini ada, lahir dari suatu perjuangan pantang putus asa, baik oleh pendirinya, KH Khotib bin Abdurraheim, maupun oleh pemimpin sesudah Beliau wafat.
Saat ini PP Tanwirul Hija dipimpin oleh KH Dumairi Asy’ari, cucu keponakan dari KH Khotib bin Abdurraheim. Keberadaan pesantren saat ini begitu menggembirakan, baik dari sarana, prasarana, keberadaan siswa, dan keberadaan gurunya. Pesantren Tanwirul Hija ini menjadi penegas bahwa KH. Khotib sebagai pendirinya telah mewariskan amal jariyah yang akan menjadi bukti-saksi di hadapan Allah SWT.
KH Khotib bin Abdurraheim memang telah kembali ke pangkuan-Nya. Tetapi nilai-nilai pengabdian dan warisan perjuangannya akan tetap dikenang sepanjang masa. Mari kita haturkan fatihah, semoga Allah SWT memberikan tempat yang layak kepada Beliau. Kiai Khotib pendiri PP Tanwirul Hija adalah cahaya edukasi di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam!