Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur, kini telah berkembang menjadi salah pesantren terbesar dan paling maju di Indonesia. Mengintegrasikan kurikulum pendidikan nasional dan kurikulum Universitas Al Azhar Mesir, sistem pendidikan di Pesantren Amanatul Ummah diarahkan untuk bisa menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.
Alhasil, di pesantren yang telah memiliki lebih dari 10 ribu santri ini, para santrinya telah mampu “melompat lebih tinggi”, dengan menimba beragam bidang keilmuan di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Mulai jurusan desain tata letak kota, kimia murni, fisika terapan, kedokteran, minyak dan pertambangan, agama, dan jurusan lainnya.
Keberhasilan Pesantren Amanatul Ummah tidak lepas dari sentuhan tangan dingin sang pengasuh pesantrennya, Prof Dr KH Asep Saifudin Chalim MA. Sosok Kiai Asep menjadi figur sentral perkembangan pesantren ini, terlepas dari sistem pendidikan apa saja yang diterapkan. Setiap pagi bakda Subuh beliau selalu memotivasi santri untuk memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa bangsa dan agama.
Kiai Asep adalah figur yang kompleks. Beliau memiliki intelektualitas yang tinggi, dikenal oleh berbagai kalangan, dan memiliki kemapanan ekonomi. Asetnya sangat banyak, tetapi beliau merupakan salah satu sosok yang paling dermawan yang pernah saya kenal. Beliau tak pernah menyesal hartanya dihibahkan kepada mereka yang datang ke ndalemnya untuk meminta pertolongan. Kondisi demikian tidak ujug-ujug didapatkan. Ada sebuah kondisi di mana Kiai Asep diterpa dengan kekurangan, kemiskinan, kesusahan, payah, lelah, dan putus asa namun mampu bangkit berdiri tegak hingga akhirnya mendirikan Pesantren Amanatul Ummah dengan jumlah santri kurang lebih 10 ribu orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam tulisan ini saya ingin mengisahkan kembali pengalaman sang tokoh. Bagaimana Kiai Asep terseok-seok dalam kondisi yang serba susah. Sebuah kondisi tepat berada di garis kemiskinan. Betapa tidak, untuk makan satu porsi saja harus berjuang berjalan ke sana ke mari mengamalkan ilmunya pada lembaga pendidikan di Pasuruan. Tidak banyak referensi tentang bagaimana aktivitas Kiai Asep sejak menjadi mahasiswa di perguruan tinggi. Namun, Kiai Asep dengan kesungguhan serta tekad membaja mencoba bangkit dari ketidakmampuan ekonomi untuk bisa mengenyam pendidikan layaknya mahasiswa pada umumnya.
Pada awal tahun 1974, Kiai Asep melalang buana ke berbagai kota di Jawa untuk mencari pengalaman dan menimba ilmu. Di antara kota yang menjadi saksi atas perjuangan hidupnya adalah Jember, Banyuwangi, Lumajang, Bandung, Jakarta, Banten, Palembang, dan terakhir adalah Surabaya yang menjadi rihlah terakhir. Setibanya di Surabaya, Kiai Asep mencoba pekerjaan baru, termasuk menjadi kuli bangunan, sebelum menginjakkan kaki di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN Sunan Ampel, Surabaya).
Dengan semangat kuat, akhirnya Kiai Asep masuk jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Ampel. Kemudian, hijrah ke kampus IKIP Negeri Surabaya mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Kemudian, beliau hijrah lagi ke Malang untuk melanjutkan studi di IKIP Malang. Alhasil, putra KH Abdul Chalim ini mampu menyelesaikan studi sarjana, magister, dan doktoralnya dengan perjuangan yang sungguh berat.
Saat menjalankan aktivitas perkuliahan, putra salah satu tokoh NU di Jawa Barat ini disibukkan dengan dunia pergerakan. Tidak aneh ketika para santri Amanatul Ummah merasa kagum betapa sibuknya Kiai dengan segudang aktivitas intelektual maupun sosialnya. Kondisi ini bisa dilacak ketika Kiai Asep sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan, selama kuliah, Kiai Asep selalu berpindah-pindah tempat mencari pengalaman serta tidak pernah mempunyai tempat tinggal tetap. Dalam penuturannya di koran Duta Masyarakat, Kiai Asep menyatakan “Selama kuliah saya tidak punya tempat kos, cukup celana dua, sarung satu, baju dua. Taruh di mana-mana, di musala. Terus nanti keluyuran. Selama kuliah, saya belum pernah kos.”
Dunia pergerakan membentuk mentalitas Kiai Asep kian matang menghadapi segala terjangan badai kehidupan. Gesekan pemikiran dunia pergerakan membawanya menjadi sosok pemenang di kehidupan dengan segala kenangan pahit yang sudah dilaluinya. Dunia pergerakan memberikan konsepsi bahwa idealisme adalah harga mati untuk mewujudkan kebenaran. Dunia pergerakan menuntun Kiai Asep tegas ketika harga diri Bangsa Indonesia diinjak-injak penjajah.
Dalam pengakuan di koran Duta Masyarakat, Kiai Asep menyebutkan berbagai pengalamannya mengikuti dunia pergerakan sejak saat berstatus mahasiswa bahkan hingga sekarang. Ia, misalnya, pernah menjadi Ketua 1 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Surabaya, Ketua MUI Surabaya, Ketua PCNU Surabaya, Seketaris Umum RMI Jawa Timur, Rektor Institut Agama Islam al-Khoziniy sejak berdiri (1990) sampai sekarang, Ketua Umum Pengurus Pusat PERGUNU sampai sekarang.
Benar apa yang dikatakan salah satu tokoh pergerakan Republik Indonesia, Paman Husein (Sapaan Gus Dur kepada Tan Malaka) bahwa tujuan pendidikan ialah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Sadar atas pentingnya pendidikan, Kiai Asep mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan menimba ilmu pengetahuan hingga titik darah penghabisan.
Tantangan yang sangat berat bagi Kiai Asep untuk mewujudkan manusia unggul, utuh, dan ber-akhlakul karimah. Segala yang beliau curahkan adalah untuk kemuliaan Islam, kemuliaan kaum muslimin, serta kemuliaan bangsa Indonesia serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan sejati bangsa Indonesia di tengah lemahnya kualitas intelektual bangsa ini. Mungkin bisa dikatakan mustahil untuk bisa direalisasikan.
Kiai Asep sangat memahami bahwa salah satu kunci utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yakni dengan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, Kiai Asep tidak mau gagal mengenyam pendidikan meskipun keadaan ekonomi sangat kritis bahkan hanya untuk makan sehari-hari. Bukankah perubahan bisa dicapai dengan disadari, diinginkan, dan diperjuangkan dengan sepenuh hati?
Sungguh luar biasa cita-cita yang diimpikan Kiai Asep untuk generasi santri di masa depan. Di dalam petuah-petuahnya, beliau selalu mengatakan, “Santri Amanatul Ummah kelak akan menjadi ulama besar yang akan menerangi Indonesia dan dunia.” Kiai Asep tidak main-main dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, utuh dan ber-akhlakul karimah. Dari sinilah saya teringat apa yang dikatakan oleh George Santayana, seorang filsuf berkebangsaan Spanyol, bahwa the body is an instrument, the mind its function, the witness and reward of its operation. Raga manusia hanyalah instrumen, pikiranlah yang mengendalikan seluruh sistem operasinya. Wallahu A’lam.