Kiai Habib dan Pahala yang Mengalir

263 views

Membicarakan keteladanan kiai atau pengasuh pondok pesantren seakan tiada habisnya. Karena dari para ulama, termasuk pengasuh sebuah pondok pesantren, kita memperoleh inspirasi dan teladan yang patut untuk dicontoh.

Salah satu yang patut kita teladani adalah KH Habibullah Rais, pengasuh Pondok Pesantren Al-Is’af Kalabaan, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat, ulama, pimpinan pesantren, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), dan aktif di politik praktis.

Advertisements

Kiai M Faizi, salah satu penyair dan pengasuh di Pondok Pesantren Annuqayah, sebagaimana dilansir dari alif.id, mengisahkan pengalamannya dengan Kiai Habib. Sebuah pengalaman spirit yang pantas untuk dikisahkan agar kita dapat mengambil manfaat dari seseorang yang pantas untuk diteladani.

Kiai Habib merupakan seorang santri yang tawaduk, penghormatannya terhadap seorang guru begitu tinggi. Kiai yang merupakan alumnus dari Pesantren Annuqayah dan Pesantren Sidogiri ini bahkan memberikan rasa hormat kepada anak cucu guru di semua lembaga pendidikan yang pernah Beliau tempuh.

Menghormati Guru

Menurut penuturan Kiai M Faizi menuturkan, jika Kiai Habib mau berkunjung ke Pesantren Annuqayah, dari jauh— sekitar 1 kilometer jaraknya— Beliau sudah turun dari kendaraan dan memilih berjalan kaki untuk menuju lokasi pesantren. Hal ini dilakukannya hingga saat Beliau uzur, bahkan saat berjalan pun sudah harus menggunakan tongkat, Beliau turun jauh sebelum lokasi pesantren.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan santri milenial, santri dewasa ini, yang dalam hal ketawadukan sudah semakin merosot. Tentu harus menjadi introspeksi diri agar keberkahan ilmu yang kita peroleh semakin maksimal.

“Cangkolang (tidak sopan) kalau naik mobil di sekitar kediaman kiai,” demikian tutur Kiai Habib jika ditanya mengapa sudah turun dari kendaraan jauh-jauh sebelum sampai di area pesantren.

Rasa hormat kepada guru bukan hanya ditunjukkan pada saat berkunjung ke Pesantren Annuqayah. Di Pondok Sidogiri pun, Beliau juga melakukan hal yang sama. Artinya, setiap gurunya diperlakukan dengan rasa hormat yang begitu tinggi.

Suatu waktu, masih menurut Kiai M Faizi, pada hari Jumat, 4 April 2003, Kiai Faizi berkunjung ke rumah Kiai Habib. Maksud Kiai Faizi ingin menyamar agar tidak diketahui identitasnya sebagai generasi pendiri Pesantren Annuqayah.

Namun, selidik punya selidik, Kiai Habib rupanya kurang absah kalau tidak mengetahui dari mana para tamu yang sedang berkunjung. Maka pada akhirnya, Beliau pun mengetahui identitas Kiai Faizi.

Menyadari bahwa yang ada di depannya adalah keturunan pengasuh Annuqayah, Kiai Habib pun berkata, “Tak langkong, saporana bisaos keng polana tak oning, Ra.” (oh, maaf, sungguh saya tidak tahu, Ra). Sebuah kalimat penghormatan terhadap cucu guru dengan kata “Ra.” Kata ini merupakan panggilan hormat terhadap anak seorang pengasuh pesantren atau ulama.

Politisi dan NU

Kiai Habibullah Rais merupakan tokoh yang multitalenta. Selain sebagai pimpinan di Pesantren Al-Is’af Kalabaan, Beliau yang hidup sekitar tahun 1352-1431 H ini juga seorang politikus dan aktifis  Nahdlatul Ulama (NU).

Jika ditanya mengapa Kiai Habib ikut terjun dalam dunia politik, jawabannya adalah mengikuti atau meneladani guru. “Saya aktif di politik karena ikut Kiai dan ikut partainya Kiai,” demikian jawaban sederhana Kiai Habibullah Rais.

Pada dasarnya, para pengasuh pondok pesantren di Sumenep khususnya, dan di Madura umumnya, berafiliasi pada organisasi Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari. Kaidah praktis terkait fikih dan amaliah ibadah pun mengikuti prinsip NU. Itu artinya, NU dalam pandangan Kiai Habib adalah hal biasa dan harus dibiasakan agar terbiasa dengan nilai-nilai ke-NU-an yang luar biasa.

Tidak banyak informasi yang bisa penulis dapatkan terkait dengan kegiatan Kiai Habib dalam politik praktis dan kepengurusan NU. Namun, yang terpenting dari ini semua adalah bagaimana seorang Kiai Habib yang begitu sibuk dengan kegiatan pesantren dan kegiatan di luar pesantren masih sempat untuk mengukir pengabdian di partai politik dan di NU. Dengan demikian, kita sebagai generasi kekinian tidak pantas beralasan sibuk untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan.

Penulis Produktif

Selain mengasuh pesantren dan aktif di berbagai kegiatan social kemasyarakatan, Kiai Habibullah Rais juga seorang penulis yang sangat produktif. Sebagaimana dijelaskan Kiai Faizi, ada banyak kitab yang telah dihasilkan oleh kiai multitalenta ini.

Kitab merupakan jejak seseorang yang kemudian menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Dan Kiai Habib telah mewariskan banyak kitab yang tentu saja kita dapat mengambil hikmah dari kitab-kitab tersebut.

Di antara kitab-kitab karya Kiai Habib adalah Tarbiyatus Shibyan (pelajaran akhlak, ditulis dalam bentuk nazam dalam bahasa bahasa Arab dan Madura); Fathul Jannah wa Washiyyatul Azwaj (tentang keutamaan ilmu, berbuat baik kepada orang tua, keluarga, dan hubungan social); Ummul Ibadah (prosa berbahasa Madura, berisi panduan melaksanakan salat); Dalilun Nisak (prosa berbahasa Madura dan Arab, berisi penjelasan berbagai macam darah, haid, nifas, istihadlah, serta cara bersucinya); Hidayatut Taushit Baina al-Ta’aththu wa al-Tafrith (panduan bersuci lewat jalan tengah atau moderat); dan Idhadul Ba’dhi al-Mubhamat fi Ba’dhi al-Mushthalahat (panduan singkat tentang cara pengambilan pendapat yang valid dan muktamad dalam bermazhab).

Kitab-kitab tersebut hingga detik ini masih dibahas dan dipelajari oleh kalangan santri. Ada juga karya Beliau yang merupakan terjemahan bahasa Madura, yaitu kitab Imrithi dan Alfiyah ibn Malik, dan kitab Minhajul Irsyad yang dikaji secara terbatas di PP Al-Is’af.

Meskipun Kiai Habib sangat produktif dalam menulis, akan tetapi menurut pengakuannya, Beliau termasuk santri yang “nakal”. Dalam bahasa Madura, “nakal” artinya tidak rajin belajar. Suatu waktu saat Beliau masih menimba ilmu di Pesantren Annuqayah, karena tidak hafal suatu mata pelajaran, oleh Kiai Hashiem Ilyas yang mengampu pelajaran saat itu ditakzir (dihukum) dengan cara mengikat kepala Kiai Habib. Kemudian, oleh Kiai Hashiem sendiri dihela sambil berkeliling masjid.

Suatu saat, ketika keduanya sudah sama-sama sepuh berjumpa dalam suatu pertemuan, Kiai Habib menuturkan kejadian tersebut kepada Kiai Hashiem. Merespons kenangan itu, Kiai Hashiem berkata, “Seandainya santri-santri sekarang tahu bahwa engkau yang kini sudah punya banyak karya dan mengasuh pesantren, dulu pernah kuperlakukan seperti itu, niscaya mereka akan datang berduyun-duyun kepadaku dan meminta diperlakukan sama denganmu seperti waktu dulu itu….”

Demikianlah teladan Kiai Habibullah Rais yang patut kita jadikan inspirasi. Semoga kita masih punya “nyali” untuk terus mengikuti dan meneladani para ulama agar kita tidak tergelincir dari jalan yang tidak semestinya. Ingin sekali penulis akhiri tulisan ini dengan sebuah quote dari K Habibullah Rais, “Saya lebih senang punya santri yang mengajar daripada santri yang kaya. Karena pahala mengajar setiap waktu akan senantiasa mengalir kepadaku.”

Wallahu A’lam bis Shawab!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan