Mengikuti tradisi ulama Banten, setelah mondok di berbagai pesantren, KH Imaduddin Ustman al-Bantani banyak menulis kitab. Kemampuannya menulis kitab dalam Bahasa Arab itu juga ditularkan kepada para santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten.
Kini, Kiai Imad, panggilan akrab KH Imaduddin Ustman al-Bantani, fokus mengasuh pesantren yang didirikannya pada 2002. Pada awalnya, Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum dirancang sebagai pesantren dengan metode pembelajaran salafiyah murni, tak ada pendidikan formal karena berfokus pada pengkajian kitan kuning, dengan target dalam tiga tahun tiap santri telah dapat membaca kitab kuning.
Namun, dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum juga menyelenggarakan pendidikan formal, di antaranya Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan mengikuti kurikulum standar nasional. Tapi, metode pembelajaran salafiyah tetap dipertahankan agar para santrinya meneruskan tradisi keilmuan ulama salafussolih yang diturunkan secara turun-temurun oleh para kiai salaf. Selain itu, para santri juga diajari menulis kitab kuning.
Syekh Ciliwulung
Kiai Imad merupakan salah satu keturunan Syekh Ciliwulung yang lebih dikenal sebagai Raden Kenyep dari Cakung, Kecamatan Kresek, Tangerang. Sejak kecil, Kiai Imad telah berpisah dengan ayahnya sehingga hanya tinggal bersama ibu dan kakeknya.
Saat berusia 15 tahun, ia dikirim ke Pesantren Ashabul Maimanah Sampang Tirtayasa, Serang, di bawah asuhan Syekh Muhammad Syanwani bin Abdul Aziz dan adik serta dua orang menantunya, yaitu KH Marqawi dan KH Suhaimi. Di sana, ia mengaji serta meneruskan belajar hingga jenjang aliyah.
Saat itu, Kiai Sanwani merupakan seorang ulama yang produktif menulis. Salah satu kitabnya yang mashur dan digunakan oleh alumninya yang mendirikan pondok adalah Kitab Babe Nenem.
Kitab ini berfokus pada pembahasan ilmu morfologi (saraf) dan diawali dengan dua puluh tujuh bait nadzom yang mencakup keseluruhan pembagian-pembagian wazan dalam ilmu saraf dengan menggunakan logat jawa.
Setelah tiga tahun lamanya ia mengemban ilmu di Pesantren Ashabul Maimanah Sampang, ia pun melanjutkan pembelajaran di Pesantren Riyadul Alfiyah Kadukaweng asuhan Syekh Mama Sanja. Dan setelah menamatkan beberapa kali kitab Alfiyah, ia kembali lagi ke Pesantren Ashabul Maimanah selama beberapa bulan. Setelah itu, ia berguru kepada Syekh Mufti bin Asnawi untuk menimba ilmu di Pesantren Cakung Srewu selama dua tahun.