Berita kematian yang terus membanjiri lini masa kita akhir-akhir ini (baik karena pandemi ataupun bukan) membuat kita dipaksa harus terbiasa dengan kabar duka. Tetapi, setiap kali berita duka itu hadir dari orang-orang yang kita kenal, kita sadar, kehilangan ternyata tetap menyesakkan rongga dada dan lagi-lagi, hati begitu berat menanggung kenyataan yang membikin nyeri.
Berita wafatnya KH Muhammad Masroni pada Jumat (2/10/2020) sampai di telinga saya selepas maghrib. Dengan jari-jari gemetar dan penyangkalan di kepala, saya mengecek status kawan-kawan terdekat saya, sesama murid Kiai Roni. Saya melihat unggahan seorang sahabat yang mengisahkan salah satu episode pertemuannya dengan Kiai Roni sepuluh tahun silam serta ungkapan duka mendalam. Saya mengecek waktu unggahan itu. Jam 13.00. Saya menangis. Bahkan berita duka itupun ternyata sampai sangat terlambat di telinga saya.
Semua orang yang mengenal Kiai Roni pasti tahu bahwa beliau bukan saja seorang kiai yang alim, tetapi juga sangat baik hati. Rumahnya, sebuah rumah berasitektur kayu dengan cat dominan warna cokelat, di kompleks Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Baalawi (SGJB), Gunung Pati, Semarang, setahu saya nyaris tidak pernah sepi. Rumah itu terbuka untuk siapa saja yang ingin berjumpa dengan beliau. Dan siapa pun akan selalu diterima dengan senyum, juga keteduhan yang sama.
Perkenalan saya dengan Kiai Roni awalnya hanya sekadarnya saja. Berawal dari pengajian Jumat Kliwon di Kanzus Sholawat Pekalongan bersama Mawlana Habib Luthfi bin Yahya yang sesekali saya ikuti. Puncaknya, menjelang acara maulid akbar pertama yang saya ikuti, sekitar 2014-an, intensitas bertemu Kiai Roni semakin sering.
Karena teman-teman saya banyak yang menjadi panitia dan mereka kerap mengadakan rapat di ndalem Kiai Roni, saya pun seringkali ikut mengekor meski kadang hanya menjadi pendengar setia saja. Selama beberapa waktu itu, saya bolak-balik Yogyakarta-Pekalongan-Semarang-Cirebon. Kadang, saya menginap di Pondok Pesantren SGJB dan kadang menginap di Kanzus Sholawat.