Kiai Nawawi Kafrawi, Menulis Sejarah dengan Pegon

Di Silo, Jember, Jawa Timur, ada sebuah pondok pesantren bernama Al-Hidayah Al-Imami Karangharjo. Pondok ini lahir dari tangan dingin seorang kiai sederhana, yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah formal, tetapi meninggalkan warisan pemikiran dan catatan yang kaya: Kiai Haji Imam Nawawi Kafrawi.

Nama beliau mungkin tidak terlalu bergema di panggung nasional. Namun, di lingkaran santri, masyarakat desa, dan para peneliti naskah, KH Imam Nawawi adalah figur yang penting. Beliau bukan sekadar pengasuh pesantren, tetapi juga penulis produktif yang mengabadikan pemikiran, keresahan, dan perlawanan ideologisnya dalam aksara Arab-Melayu (Pegon) dengan bahasa Madura.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

KH Imam Nawawi lahir di Madura pada tahun 1922. Informasi ini diketahui dari dokumen keanggotaan beliau di Partai Nahdlatul Ulama’ Cabang Jember tahun 1959, di mana usianya tercatat. Tidak banyak catatan resmi tentang masa kecilnya, kecuali bahwa beliau tumbuh dalam keluarga yang dekat dengan tradisi pesantren.

Pendidikan formal memang tidak pernah disentuhnya. Namun, dunia pesantren menjadi ruang belajar yang membentuk wataknya. Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, menjadi tempat beliau menimba ilmu paling lama. Dari lingkungan inilah, Imam Nawawi ditempa: menyelami kitab kuning, mendalami tasawuf, sekaligus berkenalan dengan dinamika sosial dan perdebatan ideologis yang mewarnai masa itu.

Selepas masa mondok, KH Imam Nawawi berlabuh ke Karangharjo, Silo, Jember. Di daerah pegunungan ini, beliau mendirikan sebuah pesantren yang kemudian dikenal sebagai Al-Hidayah Al-Imami. Pesantren ini bukan sekadar tempat transmisi ilmu agama, melainkan juga benteng kebudayaan Islam Nusantara, tempat manuskrip Pegon dan syi’ir berbahasa Madura ditulis, disalin, dan diwariskan.

Pesantren Al-Hidayah Al-Imami menjadi saksi bagaimana seorang kiai desa menjelma sebagai penjaga pengetahuan sekaligus intelektual organik. Dengan tangan beliau, pesantren kecil di Silo ikut terhubung dengan arus besar pemikiran dan pergolakan politik nasional.

Salah satu naskah yang membahas tentang rapat ANO

Salah satu keistimewaan KH Imam Nawawi adalah produktivitasnya menulis. Catatan yang tersisa menunjukkan betapa luas cakrawala pikirnya. Beliau tidak hanya menulis tentang tafsir, fikih, atau tasawuf dalam nuansa Islami, tetapi juga mengupas isu-isu besar yang tengah menjadi perdebatan dunia: Imperialisme, Komunisme, Otoritarianisme, Kolonialisme, dan lain-lain.

Yang menarik, semua gagasan itu beliau tuliskan dengan aksara Arab-Pegon dalam bahasa Madura. Pegon, bagi beliau, bukan sekadar media tulis, melainkan alat perlawanan kultural. Ia menjembatani pengetahuan modern dan tradisi lokal. Dengan Pegon, Imam Nawawi menulis untuk kalangan santri dan masyarakat yang akrab dengan aksara tersebut, sehingga gagasannya tidak berhenti pada elit, melainkan menetes ke akar rumput.

Selain catatan ideologis, KH Imam Nawawi juga menulis syi’ir dalam bahasa Madura. Syi’ir itu merekam peristiwa-peristiwa penting, termasuk konflik sosial-politik di tingkat lokal.

Salah satunya adalah syi’ir tentang pergolakan antara Fatayat NU (Pemudi Nahdlatul Ulama) dengan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sayap perempuan PKI. Syi’ir ini bukan sekadar karya sastra, tetapi dokumen sejarah yang mengabadikan bagaimana ketegangan ideologi besar (NU vs Komunisme) berkelindan hingga ke desa-desa.

Dengan gaya bahasa Madura yang lugas dan kritis, KH Imam Nawawi menuliskan keresahan kolektif zamannya. Syi’ir itu kini menjadi semacam “arsip alternatif” yang menyingkap dimensi lain dari sejarah 1950–1960-an, di luar narasi resmi negara.

Kerap kali, orang mengukur kecerdasan dari ijazah atau gelar akademik. KH Imam Nawawi justru menempuh jalan sebaliknya. Ia tidak pernah bersekolah formal, tetapi luasnya cakrawala pikirnya membuat orang terkesima. Ia membuktikan bahwa pesantren adalah universitas kehidupan, tempat seorang anak desa bisa membangun horizon dunia.

Dari tangannya, pesantren tidak hanya mencetak ahli ibadah, tetapi juga intelektual yang kritis terhadap imperialisme, kolonialisme, dan segala bentuk ketidakadilan. Pemikirannya menunjukkan bahwa ulama pesantren bukan hanya penjaga tradisi, melainkan juga agen perubahan sosial.

Kini, naskah-naskah tulisan tangan KH Imam Nawawi masih tersimpan. Beberapa sudah diteliti oleh komunitas Ngenger.co, sebagian lain masih terserak di tangan keluarga dan santri. Tulisan-tulisan itu adalah jejak seorang ulama desa yang berpikir global.

Warisan beliau bukan hanya berupa pesantren yang masih berdiri di Karangharjo, melainkan juga naskah-naskah Pegon yang merekam dialektika besar abad ke-20. Melalui tulisan itu, kita bisa melihat bagaimana seorang ulama desa merespons isu global dengan bahasa lokal.

KH Imam Nawawi Kafrawi adalah contoh nyata bagaimana pesantren melahirkan intelektual yang membumi sekaligus mendunia. Dari Madura ke Silo, dari pesantren ke Pegon, dari syi’ir ke ideologi, beliau menorehkan jejak panjang yang layak digali kembali.

Di tengah gempuran digital, nama KH Imam Nawawi seakan mengingatkan kita bahwa pena dan aksara Pegon pernah menjadi senjata perlawanan, sekaligus warisan budaya yang tak ternilai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan