Berulang-ulang saya mengatakan, pesantren saat ini telah mengambil (ditempatkan pada) posisi yang cukup strategs dalam dunia pendidikan. Kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan yang sudah eksis sejak era Kapitaya ini sudah kian meningkat. Pendidikan pesantren menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, tanggal 22 Oktober Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia) menjadikannya sebagai Hari Santri Nasional. Ini tidak lain merupakan indikator bahwa peran santri, berikut pesantrennya, sudah mulai dilirik.
Sebagai sebuah lembaga tradisional, pesantren mampu mengambil hati masyarakat dengan segala bentuk upgrade, perbaikan, dan update yang dilakukan di dalamnya. Sehingga, selain adanya pesantren salaf yang kita kenal, pesantren modern juga bertebaran saat ini, tentunya dengan kiblat yang sama; yakni menyejahterakan umat dan keberlangsungan pendidikan (baik etika atau intelektual).
Maraknya tradisi mondok, seperti halnya di Madura sendiri (tempat saya tinggal) adalah bentuk keberhasilan pesantren dalam sebuah persaingan. Stigmasi masyarakat, utamanya masyarakat kota yang menganggap pesantren sebagai sarang penyakit, kolot, dan pandangan sinis lain sudah mulai hilang dan bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Sementara itu, kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang digemari oleh masyarakat tersebut, rupanya dijadikan target bidikan oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan. Mulai dari kepentingan politik sampai kepentingan-kepentingan lain, seperti radikalisme. Beberapa pesantren sudah mulai disusupi oleh paham-paham yang fundamental. Doktrin-doktrin kacau radikalisme yang disuguhkan juga mulai tampak.
Sebagaimana yang tertera dalam judul, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana fenomena pesantren yang disusupi oleh radikalisme dan bagaimana peran kiai sebagai sentra dalam problem tersebut. Bagaimana radikalisme tumbuh mengakar di lingkungan pesantren dan bagaimana kiai pesantren harus bertindak atas itu?
Pesantren dan Radikalisme
Dulu, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pesantren pernah mendapatkan tatapan sinis dari banyak masyarakat. pandangan sinis itu bermula ketika Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden mengatakan bahwa bukan tidak mungkin penyebab dari adanya radikalisme dan terorisme yang terjadi itu lahir dari pesantren. Sebagaimana terjadinya bom bali yang merupakan ulah Amrozi dan Ali Ghufron, keduanya pernah menjadi santri dari Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo yang saat itu diasuh oleh Abu Bakar Ba’asyir.