Sekitar tiga tahun lebih, saya tinggal di salah satu pondok pesantren kecil di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Pondok itu bernama Salafiyah Isma’iliyah, terletak di Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan. Sampai saat ini, pesantren tersebut hanya menampung 20-an santri yang kesemuanya itu berstatus mahasiswa atau dari kalangan mahasiswa. Pesantren ini diasuh oleh kiai muda, Nur Huda, setelah sebelumnya berada dalam asuhan adiknya, Kiai Syibli (biasa kami panggil Ra Bobi)
Tentu hidup di pesantren tidak sebagaimana hidup di rumah. Selain kita harus hidup mandiri, berkumpul dengan keluarga baru (teman pondok), kita juga harus menaati segala macam bentuk aturan. Aturan-aturan yang ada pastinya bukan sebagai kekangan dan beban, melainkan sebagai garis aman kita agar tidak terpeleset pada kesalahan-kesalahan dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Aturan-aturan tersebut biasanya dibuat langsung oleh kiai atau melalui sistem demokrasi dengan beberapa perwakilan santri. Aturannya pun beragam, dan biasanya pun relatif mudah, sama sekali tidak menyulitkan. Indikator ngalap barokah di pesantren adalah ketika para santri bisa menaati aturan-aturan itu, tanpa melihat identitas dan kecerdasan santri tersebut. Landasan aturan yang dibuat pun tidak akan lepas dari aspek amar ma’ruf dan nahi munkar.
Namun, rupanya ada saja santri yang masih melanggar, entah disengaja atau tidak. Pelanggaran-pelanggaran yang ada (dari pelanggaran kecil sampai yang besar) umumnya terdapat sanksi atau hukuman bagi pelaku atau pelanggarnya. Tentunya hukuman atau sanksi yang ada disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.
Ada beberapa sanksi yang bisa dibilang cukup berat, tentu bagi pelanggaran-pelanggaran dalam kategori berat pula. Ada pula sanksi yang terbilang sangat mudah dan ringan. Beberapa sanksi juga kadang menjengkelkan, bahkan terkesan aneh tapi unik, sebagaimana sanksi yang biasa dibuat oleh Kiai Syibli (selanjutnya saya panggil Ra Boby), mantan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Ismailiyah Pamekasan.
Ra Boby adalah putra kedua dari pengasuh pertama, Allahumma Ighfir Lahu Kiai Hisyam Sidqi. Beliau menjadi pengasuh pesantren sementara selama kakaknya, Kiai Nur Huda, mengenyam pendidikan di Yaman. Selama masa beliau menjadi pengasuh, sosoknya dianggap karismatik di tengah usianya yang sangat muda, bahkan bisa dikatakan seumuran dengan saya. Hal itu karena Ra Boby memiliki tampang yang—bagi kebanyakan santri—agak serius dan sinis. Padahal, bagi beberapa yang sudah mengenal beliau, Ra Boby nyatanya adalah kiai muda yang loyal dan ramah.
Meski dirinya dianggap sangat karismatik, namun Ra Boby memiliki sanksi yang terkesan konyol dan unik terhadap santri yang melanggar peraturan pondok pesantren. Sebagai santri yang pernah menjadi asuhan beliau dan pernah merasakan kebijakannya, tidak satu kali pun saya melihat Ra Boby menggunakan sanksi fisik bagi para pelanggar, sebagaimana juga dipraktikkan sang kakak saat ini, Kiai Nur Huda. Meskipun sanksi fisik di pesantren untuk memberikan efek jera adalah hal yang biasa dan bahkan memang semestinya diakukan, namun nyatanya, dalam memberikan sanksi, Ra Boby memiliki cara uniknya sendiri.
Pertama, sanksi botak sebagian. Ini pengalaman terkonyol saya selama nyantri. Awal-awal saya mondok di pondok pesantren tersebut, saya dan beberapa teman-teman dengan khilaf pulang ke rumah (untuk mengambil uang dan beberapa kiriman orang tua) tanpa pamitan langsung ke beliau, melainkan melalui asisten pribadinya. Kami pikir, karena sifatnya sementara, maka tidak perlu pamitan langsung, terlebih saat itu beliau masih ada di kampusnya.
Namun, dugaan kami salah. Setelah balik ke pondok, kami (yang pulang) dipanggil untuk menghadap dan disanksi. Saya sendiri pun pasrah dengan sanksi yang dijatuhkan oleh beliau, apapun bentuknya, karena statusnya saya memang salah. Ternyata, tak disangka, sebagian (baca; sedikit) rambut saya dicukur nyaris botak. Hanya sebagian, tidak keseluruhan. Sisanya, disuruh potong sendiri ke tukang pangkas rambut. Malunya bukan main. Saya ditertawakan oleh pelanggan dan tukang pangkasnya. Tapi, bagi saya itu pengalaman berharga, sekaligus cara saya menebus kesalahan terhadap seorang guru.
Kedua, Mendorong motor yang mogok sampai pom bensin. Beberapa teman pondok saya juga mengalami hal yang serupa. Beberapa dari mereka yang terbukti melanggar juga mendapatkan sanksi yang konyol dan unik. Sanksi lain yang terbilang menarik adalah mendorong motor mogok sampai ke pom bensin yang sudah ditentukan.
Menurut pengakuan teman saya itu, capeknya tidak seberapa, malunya itu yang “subhanallah“. Bisa dikatakan kami bersyukur mendapatkan sanksi-sanksi tersebut. Meskipun agak terkesan memalukan, namun saya pribadi menyebutnya lebih bersahabat dan lebih membuat mental para santri terlatih.
Konon, sanksi-sanksi yang dibuat Ra Boby sebenarnya adalah warisan dari sang abah, Allahumma Ighfir lahu Kiai Hisyam Sidqi. Saya pernah ngobrol dengan beberapa santrinya Kiai Hisyam yang sudah berstatus alumni. Kiai Hisyam juga mengeluarkan sanksi-sanksi yang terbilang unik bagi santri yang melanggar. Bahkan, ada kisah yang menyebutkan, salah satu sanksinya adalah memerintahkan pelanggar untuk menggunakan masker wajah dari kotoran sapi. Wallahu A’lam…