KIAI YANG TAK PERNAH PUNYA SINGGASANA

FEODALISME DI LIDAH MIKROFON

Mikrofon itu haus sensasi
ia menelan doa yang pelan
dan memuntahkannya sebagai gosip sosial.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

“Santri miskin, kiai kaya,” katanya
seolah tak ada jarak yang disebut adab.
Padahal dalam diam yang panjang
ada ilmu yang tumbuh seperti padi—
makin berisi, makin merunduk.

Tapi siapa peduli pada makna menunduk,
di zaman ketika semua kepala ingin tegak
meski tak tahu ke mana arah berdiri?

ADAB YANG DICURIGAI

Zaman ini aneh:
sopan dianggap takut
hormat dianggap budak.
Padahal para santri tahu
hati yang keras tak bisa diajar
selain dengan diam yang panjang.

Mereka jongkok, bukan karena kalah
tapi karena ingin sejajar dengan tanah—
tempat para nabi belajar rendah hati.

Namun televisi mencatat: ‘ketimpangan
Seperti hakim yang lupa,
ada pengetahuan yang tak bisa diadili.

KIAI YANG TAK PERNAH PUNYA SINGGASANA

Ia duduk di tikar
bukan di kursi kekuasaan.
Tapi lensa menuduhnya raja.

Padahal yang ia simpan hanyalah
kartu nama santri-santrinya—
satu jadi guru, satu jadi petani,
satu jadi ayah yang berdoa sebelum makan.

Mungkin mereka lupa:
kekuasaan sejati tidak beralamat,
dan keikhlasan tak butuh izin tayang.

SETELAH DUNIA MENONTON PESANTREN

Setelah semua kamera pulang
yang tersisa hanya tikar, sajadah, dan debu
Azan kembali terdengar biasa
Tak ada sorot lampu
tak ada tuduhan
hanya suara kitab yang dibaca pelan
seperti seseorang menata hatinya sendiri.

Di luar, dunia berdebat tentang feodalisme.
Di dalam, santri menulis:
aku belajar hormat bukan karena takut
tapi karena ilmu terlalu suci untuk ditatap dari atas.

Di ANTAR SUJUD DAN TUDINGAN

Seseorang menuduh:
“mengapa kalian menunduk terlalu lama?”

Kami jawab pelan:
“karena dunia terlalu tinggi suaranya.”

Kamera menyorot lutut kami
bukan hati kami.
Mereka pikir tunduk itu kalah.
Padahal hanya di posisi itu
kami bisa melihat langit tanpa sombong.

DOKUMENTER TENTANG KETIDAKTAHUAN

Ada kru datang membawa naskah
tapi lupa membawa niat.
Mereka ingin memfilmkan gelap
padahal lampu di hati kami tak pernah padam.

Mereka menyusun potongan hidup
seperti teka-teki yang sudah punya kesimpulan:
kiai—penguasa,
santri—korban.
Sederhana dan salah
seperti anak kecil yang menggambar masjid
tanpa pernah mendengar azan.

LENSA YANG TAK BISA SUJUD

Di pesantren itu
suara sandal terdengar seperti ayat
dan setiap langkah santri
adalah tanda baca dalam kitab panjang tentang adab.

Kamera datang
membidik lutut yang jongkok
menyebutnya: feodalisme.
Padahal yang mereka lihat hanya lutut
bukan hati yang menunduk pada ilmu.

Mereka ingin menulis tentang gelap
padahal mereka datang
tanpa mematikan lampu kesombongan.

Sumber ilustrasi: ruang sastra.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan