KIDUNG DARI TIMUR
:Madura
sèr-kèsèran obi manès,
jâng-lajângan ḍâunna nangka.
dengan tangan gemetar kutakwil asin garam
pada hangat peluh tubuhmu. kalimatnya
disadur dari ombak yang rindu pelukan
juga darah sapi karapan.
kèr-pèkkèran sambi nangès,
jâng-bâjângan sangghu dhika.
musim mengabarkan kerinduan lewat
kasidah air hujan yang bertandang di halaman
celurit menggelepar menjelma bulan sabit
sedang terluka. daun-daun siwalan menangisinya
dengan suara sekeras batu bukit kapur:
“aku ingin kau tak ikut lebur dalam tembang
pangkur yang membuat dukaku tak terukur!”
Madura-Yogya, 2021.
MERUSAK HATI DARI MEJA MAKAN
:Nabila
pada meja itu, manisku. setia menjadi daun-daun
yang memutuskan pergi dari rantingnya. sedang
angin masih tak mampu memerdekakan rindu.
syahdan, aku muntahkan kepalaku dari mulut
jendela kamarmu. berharap bayang-bayang
kenangan lebur bersama secangkir teh yang
kau seduh. senja itu.
:berharap murni dicintaimu, seperti menunggu
getah batu.
Cabeyan, 2021.
MENCINTAI SAPI
i/
tak usah menjadi lottrèngan untuk sekadar
menumbuhkan sekarung mawar di bibirku.
cukup duduk manis di kandang, bila aku ingin
meleburkan tanah kerontang, kau sedia
untuk datang: itu sudah lebih dari cukup.
ii/
baru kusadari isyarat senyum hangat matahari
ia menginginkan langkah kaki memecah gigil pagi
menuju bandungan puisi, mengambil rerumputan
untuk sepasang sapi. maka terberkatilah sakral cinta:
cabang kedua setelah Yang Maha.
iii/
kelak setelah jagung di kebunku seusia rindu
daun-daunnya kuhadiahkan kepadamu
biar nanti malam kunang-kunang yang beterbangan
di matamu, membagikan cahayanya kepada
gelap rahasia tuhan yang tak bisa kuramu.
Cabeyan, 2021.
BIOGRAFI HUJAN
i/
ia tidak melulu jatuh
dari kelopak mata nawang wulan
kadang dari nganga luka sepasang kekasih
yang didakwa kesedihan
juga dari kalimat rindu
yang tak menemukan alamatnya.
ii/
ia bisa membuat segala yang bisu
angkat bicara:
seperti batu-batu dibungkam
dipaksanya untuk menelan geram.
iii/
berlagu
di ruang kedap rindu.
Cabeyan, 2021.