Setelah menerima uang dari ayahnya, keesokan harinya Siti memutuskan mengajak Fitri untuk segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepedanya, Siti membonceng Fitri menuju halte bus.
“Mengapa kita tidak meminta Lik Yadi untuk mengantar kita?”
“Lik Yadi sedang bekerja ini tadi. Jadi kita harus naik, bus.”
“Aku tidak enak dengan orang-orang, Bu. Masa ibu membonceng saya dengan sepeda. Apa nanti kata orang kepadaku.”
“Jika ada orang yang mencibir kita, biarkan aku yang menjelaskan.”
Orang yang sedang duduk di tepi jalan menatap sinis Siti yang terasa berat membonceng Fitri. Tatapan sinis itu membuat Fitri semakin sesak.
Tenaga Siti di usia lima puluh tiga tahun berjibaku melawan angin yang berembus seolah menghalangi jalan mereka.
“Bagaimana sih anak itu, sudah dewasa masih saja merepotkan ibunya,” orang di tepi jalan berbisik kepada orang di sebelahnya.
“Iya, dasar anak durhaka.”
Karena tidak mendengar perkataan mereka, Siti melanjutkan perjalanan. Napas Siti terengah-engah ketika sampai di sebuah penitipan sepeda.
“Sebenarnya kita bisa kapan-kapan saja pergi. Nunggu Lik Yadi sanggup mengantar kita. Kita tak perlu susah payah seperti ini.”
“Sudahlah, Fit. Kamu menurut saja pada ibu. Ini demi kebaikanmu.”
“Aku tidak enak pada orang-orang. Mereka memandangiku dengan sinis.”
“Biarkan saja, jangan diambil hati. Aku yang menjelaskan kepada mereka jika nanti ada yang menyalahkanmu.”
Perdebatan mereka terjeda setelah bus yang mereka tunggu datang. Fitri melangkah menaiki bus. Tangan kanan Fitri menggandeng ibunya, Siti. Raut wajah lelah nampak di wajah keriput Siti. Beberapa peluh menetes dari wajahnya.
“Duduklah sini, Fit.”
“Ibu duduk di mana?”
“Aku akan berdiri di sebelahmu.”
“Duduklah sebelahku, Bu.” Fitri menawarkan kursi bus dua orang untuk diisi tiga orang.