Peraturan di pondok pesantren memiliki banyak macam. Ada yang sangat ketat, ada yang ketat saja, kurang ketat, atau bahkan tidak ketat sama sekali. Hal ini dapat mempengaruhi para santri. Setidaknya 75% santri yang mau patuh pada aturan. Jelas, lha wong ada santri yang punya “misi” aturan ada untuk dilanggar.
ini kisah saya dan teman-teman saya di salah satu pondok pesantren yang memang bisa dibilang cukup ketat. Banyak aturan, banyak takziran (hukuman yang melanggar aturan), tapi banyak juga yang tidak takut dengan hal itu. Kerap kali buku kasus santri diganti-ganti akibat banyaknya santri yang melanggar aturan.
Pernah suatu ketika, ada selawatan az-Zahir di alun-alun kota. Pengurus sudah mengumumkan sejak awal bahwa para santri tidak boleh datang ke sana karena acaranya malam hari, sementara besoknya para santri harus pergi ke sekolah. Namun, hal itu tidak digubris oleh sekitar 25 persen santri dablek, termasuk saya.
Malamnya, sekitar pukul delapan malam, gerbang pondok asrama sudah dikunci. Tapi itu tak membuat rencana kami gagal. Kami justru dengan PD-nya memanjati gerbang tersebut. Ya untung saja bagian atas gerbang tidak lancip. Kalau lancip-tajam, saya pun tidak berani menaiki gerbang tersebut.
Secara bergantian kami keluar dengan memanjat gerbang tersebut. Beberapa berjaga-jaga, takut kalau-kalau ada pengurus yang tiba-tiba datang. Setelah semua lolos dari acara panjat memanjat itu, kami langsung berjalan mengendap-endap lewat jalan belakang pondok atau biasa disebut jalan warga kampung seperti rombongan maling pokoknya.
Dan sampailah kami di tepi jalan raya. Di sana kami menunggu angkot, bus, atau sebagainya walaupun sudah malam. Eh, ternyata memang tak ada kendaraan umum yang lewat. Ya sudah, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Beruntungnya, ada sebuah truk yang mau menumpangi kami bertujuh sampai ke alun-alun. Siapa yang tidak mau? Kan, gratis.
Sesampainya di alun-alun, ternyata sudah ramai, orang-orang berjubel. Selawatan pun sudah dimulai. Awalnya, yang kami pikir santri yang dablek hanyalah kami, ternyata itu salah. Justru ada banyak santri putra yang juga diam-diam datang ke alun-alun untuk mengikuti acara selawatan itu. Bahkan beberapa santri putra kami kenal karena sudah biasa dihukum di depan asrama putri.
Dan yang mengagetkan lagi, setelah rombongan kami, masih banyak santriwati yang menyusul. Pasti pada akhirnya pengurus juga sadar kalau banyak santri yang tidak ada di asrama. Namun, tak peduli dengan hal tersebut, kami justru bersenang-senang di sana. Berselawat sampai suara serak, pikiran rasanya sangat tenang karena sudah berada di luar area pondok alias bebas.
Tak terpikir sedikit pun oleh kami apa yang terjadi dengan hari esok. Acara selesai tepat tengah malam, merasa belum puas keluar pondok tanpa izin, kami masih jalan-jalan pergi ke warnet. Apa lagi kalau bukan untuk bermain game atau bahkan hanya buka-buka sosial media sampai dua jam lamanya.
Setelah itu, kami pulang, tapi dengan terpaksa harus berjalan kaki. Lah, mau bagaimana lagi? Kan tak ada angkutan umum di jam-jam angker. Jalanan mulai sepi. Kami bertujuh tak peduli dengan cuaca malam yang dingin. Padahal kalau dipikir-pikir lebih enak tidur daripada jalan-jalan tengah malam.
Sebelum Subuh, kami sudah sampai di asrama. Sudah rebahan di kamar kami masing-masing. Dan waktu salat Subuh, kami sudah ikut absen, jadi berasa aman dan tidak akan terjadi apa-apa dengan kami. Pengurus pun terlihat biasa saja. Selepas salat berjamaah, seluruh santri ikut mengaji dengan Bu Nyai.
Setelah itu, barulah kami bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Namun, saat saya sedang antre di kamar mandi, tiba-tiba ada pengumuman dari speaker pondok! Terkejut, soalnya ada nama saya dan beberapa teman-teman lainnya disebutkan. Saya langsung menduga-duga kalau ini kasus tentang acara tadi malam. Entahlah, saya langsung pergi ke kantor pengurus. Di sana sudah ada puluhan santri yang berkumpul. Banyak juga ternyata.
“Ini yang semalam pergi ke alun-alun. Tahu, kan, hukumannya apa?” kata Mbak Ani, salah satu pengurus keamanan. Ia memberikan sebuah kerudung dengan tulisan besar menggunakan pilok “Santri Ndableg!” besar-besar. Kami disuruh memakainya dan berdiri di depan asrama putra.
“Yuni mana?” saya bertanya pada Dita, salah satu teman yang memang semalam berangkat dan pulang bersama (bukan nama asli). Dita tampak menggelengkan kepalanya sambil mencari-cari di mana keberadaan Yuni. Merasa tak adil, Dita pun mengangkat tangannya untuk melapor.
“Mbak, semalam Yuni juga ikut kok ndak dipanggil?” lapornya. Mbak Ani tersenyum dan keluarlah Yuni dari kamar pengurus dengan senyum mengejek pada kami. Dan saat itu kami sadar kalau Yuni ternyata adalah salah satu mata-mata pengurus asrama putri. Saya dan yang lainnya langsung saling berbisik kesal dengan hal itu. Ya jelas kesal, merasa dikhianati teman sendiri. Teman dekat pula, sakitnya plus-plus.
Dita tampak mencibir. “Bolone Sumanto. Senenge mangan kanca!” (Temannya Sumanto. Sukanya makan teman). Jelas saya terkikik dengan ucapannya yang memang dia adalah asal Purbalingga, Jawa Tengah. Sebagiannya benar, karena memang pondoklah tempatnya teman makan teman.
“Padahal dia juga menikmati indahnya nongkrong di warnet semalam,” tambah yang lain.
Pada saat bersamaan, santri putra pun mendapat hukuman, dijemur di depan asrama putri. Mereka terlihat memakai kalung dari kardus yang bertuliskan “SANTRIWAN NDABLEG! Namun, bukan main-main, santri putra juga harus digundul sebagai hukuman tambahan alias hukuman berat. Hukuman tambahan diberikan karena mereka tidak ikut berjamaah Subuh.
Setelah kejadian tersebut, peraturan pondok semakin diperketat dan ternyata tetap ada selanjutnya yang masih tetap dablek. Semakin ketat, bukannya semakin jinak, tapi malah semakin memberontak. Sampai-sampai Umi (Bu Nyai pengasuh pondok) pernah ndawuh;
“Kalau semua santri di pondok itu manutan, jelas pondoknya sepi. Tapi kalau dablek semua, ya bangkrut tenaga pengurusnya.” Begitu ucapan beliau sambil tertawa lucu melihat kami yang berjejer menjalani hukuman.