Kitab Kuning dan Relasi Keilmuan Ulama Nusantara

752 kali dibaca

Benarkah kitab kuning sebagai simbol kejayaan umat Islam? Dalam pandangan sementara, pernyataan itu benar. Hal itu jika kita melihat sejarah pada masa keemasan umat Islam Abad Pertengahan. Misalnya, ada Ibnu Sina sebagai astronom, ahli filsafat sekaligus terkenal dengan ilmu kedokterannya. Salah satu karya monumentalnya yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah kitab Al-Qanun. (M Abrar- https://sahabat muslim.id).

Dalam tradisi Islam Nusantara, kitab kuning merupakan media pendalaman keilmuan yang diajarkan seluruh pesantren di Indonesia. Dengan demikian, bisa dibilang kitab kuning adalah media yang menghubungkan keilmuan ulama dari abad ke-3 Hijriah hingga sekarang. Dalam kurun waktu yang sangat lama, namun tradisi itu masih terawat dengan baik. Misalnya, dari mana kita mengetahui istilah “Halal Bihalal”, sementara istilah itu tidak ditemukan di kalangan ulama Timur Tengah. Tentu istilah itu digali dari kajian terhadap karya-karya ulama terdahulu.

Advertisements

Membincang kitab kuning, penulis teringat dengan semboyan kalangan pesantren yang terkenal, “Al-Muhafadza Ala Al-Qadim Al-Shaleh Wal-Akhdzu Bil Jadidil Aslah.” Pada kalimat tersebut terdapat diksi  al-Qadim al-Shaleh, yang secara harfiah maknanya menjaga tradisi lama yang baik. Dengan demikian, penulis memasukkan kitab kuning termasuk bagian dari Al-Qadim Al-Shaleh tersebut.

Dalam perkembangan zaman, harus diakui bahwa hadirnya dunia digital di tengah-tengah kita di era kekinian mampu mengubah pola pikir anak didik. Pertanyaannya adalah, dengan maraknya media sosial dan konco-konconya, seperti Facebook, Instagram, X (Twitter), dan Telegram, misalnya, masihkah generasi masa kini mau dan mampu mendalami kitab kuning?

Bahkan, menurut sebagian orang, belajar kitab kuning adalah terbelakang. Apakah pernyataan itu bisa dipertanggungjawabkan? Tentu saja tidak. Penulis menyikapi hal tersebut, masih tetap berdiri  kokoh dengan arahan dari ulama, seperti Imam Nawawi dan Imam al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim: “Tetapilah ilmu-ilmu terdahulu dan hati-hatilah kamu dengan ilmu-ilmu baru yang membahayakan.”

Pernyataan al- Zarnuji ini jangan disalah tafsirkan. Ini hanya warning bagi kita, terutama pada ilmu-ilmu baru yang bersebarangan dengan syariat yang harus divalidasi ulang.

Masih dalam kitab Ta’lim, dinyatakan bahwa “Orang yang sungguh-sungguh dalam berusaha ia akan sukses dan akan mendapatkan impiannya.” Atau, “Barang siapa yang mengetuk pintu ia akan terbuka.” Begitulah orang yang telah kecanduan pada gagdet, mareka masih bisa diarahkan kembali untuk untuk mempelajari kitab kuning sebagai relasi keilmuan para ulama terdahulu, seperti mengkaji kitab Al-Muqaddimah, Ihya’ Ulum al- Din, Bidayah Al-Hidayah, dan lainnya.

Kitab kuning adalah pangkal dari segala keilmuan ulama terdahulu. Karena, banyak karya ulama baik dalam bidang hadis, tasawuf, akhlak, lingkungan, dan tafsir, yang semuanya terbukukan dalam bentuk kitab kuning. Untuk mendalami kitab-kitab tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam bahasa Ta’lim,tuuli zamani”. Tidak bisa ditempuh hanya dalam tempo seminggu, dua minggu. Namun, memerlukan waktu relatif lama hingga hitungan tahun, karena memahami  kitab kuning harus melalui ilmu alat, seperti ilmu nahu- saraf  ilmu badi’, ma’ani, dan lainnya.

Selain itu, untuk memperoleh keilmuan dari para ulama harus melalui pembelajaran secara tatap muka sebagai mana sistem di pesantren, seperti metode sorogan, bandongan, dan lainnya dengan menggunakan kitab kuning, seperti Sullam al-Taufiq, Ummul Barahin, Shahih Al-Bukhari, dan kitab-kitab lainnya. Metode seperti itulah adalah salah satu upaya transmisi keilmuan dari masa ke masa hingga saat ini.

Mereviu sekitar abad ke-3 sampai abad 15-an Hijriah, pada saat itu, untuk mendapatkan ilmu sangat sulit. Perjalanan mereka untuk meraih ilmu melalui jalan terjal, karena masa itu alat transportasi masih terbatas, tidak semudah saat ini. Mereka melakukan rihla (mengadakan perjalanan panjang) dari satu tempat ke tempat lainnya dengan jalan kaki. Tujuannya hanya untuk mencari ilmu. Nama mereka pun tetap harum sampai sekarang karena peninggalan-peninggalan berupa karya-karya yang masih dikaji di berbagai pesantren sampai detik ini.

Berbeda dengan saat ini. Hadirnya era serba digital memudahkan penggunanya untuk mempelajari segala ilmu, baik ilmu agama maupun umum, melalui jaringan Internet. Dulu, jika orang ingin memiliki kitab kuning harus membeli dengan biaya puluhan juta, seperti Tafsir Manar, Tafsir Maraghi, dan disiplin kitab-kitab lainnya. Namun, saat ini kitab kuning sudah bisa di-download melalui media online (website) maupun aplikasi kitab-kitab klasik dan kontemporer.

Melihat hal tersebut, pada gilirannya terdapat sisi positif dan negatif. Misalnya, kalau belajar kitab kuning melalui e-book atau format pdf, penglihatan cepat lelah. Namun, dari segi pendanaan sangat murah. Hanya dengan dua ratusan ribu rupiah kita sudah bisa memiliki ratusan kitab dengan cara mengunduhnya.

Sementara, belajar dengan menggunakan kitab-kitab manual lebih cepat menyerapnya dan mata tidak cepat lelah, namun dari segi pembiayaan sangat mahal. Coba kita cek harga kitab Syarah Bukhari, harganya sekitar Rp 4,5 juta. Belum lagi dengan kitab-kitab lainnya, seperti Tafsir al- MisbahFiqhul Islam Wa Adillatuhu.

Namun ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang menyelami dunia ini, karena tersebarnya kitab-kitab digital harus difilter dulu agar tidak semua yang dapat diakses itu dijadikan pegangan. Karena bebasnya informasi menyebabkan semua bisa mengakses dan mengupload baik yang profesional hinga yang amatiran.

Persoalan seperti itulah menjadi tanggung jawab kita, agar pergerseran nilai di pesantren bisa diminimalisasi dengan mengembalikan “khittah” pesanten sebagaimana tempo dulu. Bahwa santri diwajibkan mampu menyelami kitab kuning. Inilah tugas kita sebagai orang yang berpendidikan, hendaknya melestarikan kembali kitab kuning agar ruh pesantren tetap terjaga. Kitab kuning tidak hanya pelajaran halal-haram, di dalamnya juga mempelajari tentang qanun asasi, pertanian, kedokteran, filsafat, bahkan aljabar, fisika, arsitektur, dan sebagainya yang merupakan produk dari masa keemasan Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan