Baru beberapa hari yang lalu, tepatnya 13 Agustus 2020, Bupati Sumenep mengeluarkan peraturan bupati (perbup) tentang penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran Covid-19. Peraturan ini ditujukan bagi subyek perorangan, pelaku usaha, dan pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.
Pada intinya, perbup tersebut mengatur bagaimana warga harus mematuhi protokol kesehatan yang dimanifestasikan ke dalam empat hal, yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Dan bagi mereka yang melanggar, akan dikenakan sanksi berupa teguran, kerja sosial, denda administratif, serta penyitaan KTP bagi perorangan.
Kemudian, bagi pelaku usaha dan pengelola tempat serta fasilitas umum, selain diberikan sanksi berupa teguran dan denda jika melanggar, sanksi lain yang mungkin bisa diberikan adalah penghentian sementara operasional usaha dan pencabutan izin usaha.
Bisa dibilang bahwa perbup ini cukup terlambat, mengingat kasus pertama Covid-19 di Indonesia sudah ada sejak awal Maret 2020. Dalam tiga hari ini pun masih belum terlihat bagaimana perbup tersebut dilaksanakan di tengah masyarakat karena masih banyak ditemui orang-orang yang tidak mengenakan masker sama sekali, apalagi melakukan pembatasan fisik dan menghindari kerumunan.
Desa tempat saya tinggal relatif jauh dari perkotaan, kurang lebih membutuhkan waktu 45 menit berkendara jika ingin pergi ke kota. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang warga di desa saya terkonfirmasi positif Covid-19 karena tertular di tempat kerjanya di kota.
Setelah melakukan karantina di salah satu pusat kesehatan di kota dan dinyatakan negatif, ia pun kembali ke rumah. Ia sama sekali tidak dirawat secara intensif karena meskipun dikatakan positif, tetapi ia termasuk orang tanpa gejala. Sehingga proses karantina yang dilakukan semata untuk menghindari semakin menyebarnya virus tersebut ke orang lain. Oleh karena itu, begitu hasil swab dinyatakan negatif, orang tersebut langsung boleh kembali ke rumahnya.
Masyarakat desa di sekitar sini hampir tidak ada yang menggunakan masker. Kalaupun ada yang menggunakan, jumlahnya sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Namun, ketika berita tentang salah satu tetangga di sini positif Covid-19, keesokan harinya, suasana di desa langsung lengang dan hampir semua orang mengenakan masker. Sayangnya, hal itu hanya terjadi sehari saja. Setelah itu, orang kembali beraktivitas tanpa masker, seolah-olah lupa bahwa sehari yang lalu, ada salah seorang tetangga yang positif Covid-19.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sebetulnya ketahanan masyarakat desa relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan warga perkotaan ketika menghadapi pandemi. Di perdesaan, nyaris susah ditemukan orang kelaparan karena tidak punya pekerjaan. Solidaritas antarwarga sangat tinggi sehingga budaya saling menolong bisa menyelamatkan ketahanan pangan keluarga-keluarga yang terdampak pandemi.
Yang sangat disayangkan adalah, kegiatan dan acara di masyarakat nyaris tidak berubah meskipun ada pandemi. Orang tetap saja melangsungkan acara pernikahan dengan mengundang ratusan tamu, mengadakan acara haul atau tahlilan juga dengan banyak undangan, dan semua kegiatan-kegiatan tersebut nyaris tidak disertai dengan protokol pencegahan Covid-19. Para tamu dan undangan pun tidak mengenakan masker, tempat cuci tangan dan sabun atau hand sanitizer pun tidak disediakan, bahkan tempat duduk berjarak pun tidak ada.
Tentu saja ada satu-dua orang yang mengenakan masker dan membawa hand sanitizer ke mana-mana. Tapi biasanya, mereka dianggap aneh. Banyak warga masyarakat di desa yang tidak percaya bahwa pandemi ini nyata. Bagi mereka, pandemi cuma terjadi di Jakarta dan di Sumenep tidak ada Corona, begitu yang seringkali mereka ucapkan. Selain itu, informasi-informasi yang tidak kredibel dan beredar secara masif melalui media sosial juga membuat orang-orang banyak yang meyakini bahwa pandemi ini adalah konspirasi belaka.
Ketidakmampuan masyarakat dalam mengolah informasi mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak membuktikan ada knowledge gap yang belum teratasi. Edukasi mengenai pentingnya melakukan protokol pencegahan Covid-19 sebetulnya beberapa kali diungkapkan oleh pemuka agama di sini. Tetapi ada banyak juga pemuka agama yang tidak melakukan protokol tersebut.
Terlebih lagi, peraturan pemerintah tidak cukup ketat untuk bisa “memaksa” masyarakat melakukan protokol kesehatan demi mencegah tertular dan tersebarnya Covid-19 sehingga sampai hari ini, di hampir semua acara seperti pernikahan, tahlilan, dan acara-acara yang melibatkan banyak tamu undangan, jarang sekali ditemui warga yang mengenakan masker.
Meskipun saya juga meyakini bahwa peraturan yang ketat itu penting, tetapi edukasi mengenai pandemi ini menurut saya jauh lebih penting. Alih-alih meminta masyarakat untuk mematuhi aturan dan menakutinya dengan sanksi-sanksi, edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta edukasi literasi sehingga masyarakat mampu berpikir kritis dan mengolah informasi-informasi yang mereka dapatkan itu akan jauh lebih bermanfaat, tidak saja untuk menghadapi pandemi tetapi untuk hal-hal lain di masa mendatang.