Apa relasi antara komedi dan kecerdasan?
Komedi, yang sebenar-benar komedi, adalah produk sebuah kecerdasan. Jika unsur kecerdasannya dibuang, atau yang tersisa dari seorang komedian tinggal kebodohan, maka komedi yang diproduksinya tidak akan membuat orang tertawa, tapi justru menjadi tertawaan orang.
Maka, jangan coba-coba menjadi komedian jika Anda bukan orang cerdas.
Bahwa antara komedi dan kecerdasan memiliki jalinan yang kuat sudah menjadi bahan studi para ahli sejak lama. Pada 1970-an, misalnya, sebuah studi dilakukan di Amerika Serikat dengan meneliti terhadap 55 pria dan 14 wanita komedian. Mereka menjalani uji kecerdasan intelektual atau intelligence quotient atau IQ.
Hasilnya mencengangkan. Rata-rata skor IQ para komedian ini di atas normal. Jika orang biasa rata-rata ber-IQ 90-110, para komedian tersebut memiliki rata-rata skor IQ 138 —dengan skor tertinggi 160. Artinya, mereka, para pengocok perut ini, adalah orang-orang yang sangat cerdas. Mendekati jenius. Seperti komedian terhebat masa kini, Rowan Atkinson alias Mr Bean, yang memiliki IQ 178!
Kenapa rata-rata para komedian memiliki IQ di atas normal, di atas IQ orang biasa, karena komedi, humor, lelucon, lawakan —atau apa pun sebutannya— adalah memang produk kecerdasan. Karena itu, komedian selalu datang dari orang-orang cerdas.
Sebab, memang tidak mudah untuk membuat orang tertawa, sebenar-benar tertawa, atau semurni-murni tertawa, sampai bercucuran air mata, sampai tubuh terguncang-guncang, sampai otot-otot meregang, sampai kesumpekan hilang, sampai kesegaran pikiran datang.
Dan yang bisa membuat orang tertawa sesungguhnya adalah adanya hal-hal tak terduga yang dihasilkan oleh kerja logika terbalik atau pembalikan logika atau cara berpikir yang tidak biasa terhadap segala hal ikhwal. Sehingga, hasilnya selalu mengejutkan bagi orang-orang biasa, atau orang-orang biasa dibuat terkejut.
Cara berpikir yang tidak biasa, atau dengan pembalikan logika, rasanya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan tertentu, yang tentu sudah mahir dalam bermain-main dengan logika. Yang bukan orang cerdas tentu tidak biasa bermain-main dengan logika, menggunakan cara berpikir yang tak biasa.
Tapi rupanya komedian hebat tidak hanya bertumpu pada IQ yang tinggi. Studi lain menyebutkan, para komedian hebat biasanya juga memiliki kecerdasan emosional yang juga tinggi, yang oleh para ahli disebut emotional quotient atau EQ. Studi itu memang tidak membuat scoring. Namun, dipastikan para komedian memiliki kemampuan membaca situasi —misalnya situasi sosial atau kejiwaan audiens. Dengan begitu, para komedian bisa menentukan timing dan setting, kapan dan di mana suatu lelucon harus ditembakkan.
Maka, jika ada komedi atau lelucon yang kemudian justru menjadi bahan tertawaan orang ramai, seperti membandingkan atau menyandingkan antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, pasti itu bukan produk dari kecerdasan seorang komedian.