Komunis sebagai Wadah Perjuangan Santri Surakarta

Ketika kata “komunisme” dan “Islam” disandingkam, kesan pertama kali yang muncul di benak banyak orang pasti dua hal yang bertentangan. Namun, ajaran Islam dan doktrin komunisme pernah menjadi menjadi dua penggerak utama perlawanan kaum putihan atau santri Surakarta terhadap kolonialisme.

Salah satu kajian menarik mengenai persinggungan Islam dan ideologi perlawanan di Surakarta tertuang dalam buku Gerakan Komunisme Islam Surakarta karya Prof Syamsul Bakri (LKiS, 2015). Dalam karyanya, penulis menjabarkan bagaimana ideologi komunisme, yang secara umum dipandang kontradiktif dengan ajaran Islam, justru pernah menjadi wadah perjuangan yang berpadu dengan spirit keislaman dalam gerakan perlawanan masyarakat Surakarta terhadap kolonialisme. Perlu dicatat, “kaum putihan” dalam konteks ini merujuk pada kelompok santri Surakarta yang menjalankan ajaran Islam secara kaffah, yang pada akhirnya menafsirkan ajaran pembebasan dalam Islam untuk melawan penindasan kolonial dan kapitalis, yang sejalan dengan cita-cita komunisme.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Perpaduan unik antara nilai-nilai Islam dan semangat revolusi komunis ini menjadi fenomena yang sangat signifikan dalam sejarah perjuangan kaum muslim di Surakarta pada waktu itu. Gerakan ini memaknai Islam tidak sekadar sebagai agama yang hanya mengajarkan kesabaran atau pemaafan, melainkan juga sebagai ideologi perlawanan terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan yang dipraktikkan oleh pemerintah Hindia-Belanda dan kaum serakah kapitalis.

Mereka memandang Islam sebagai agama pembebasan (liberasi) manusia dari segala bentuk penindasan, kebodohan, eksploitasi, dan perbudakan. Oleh sebab itu, Islam yang dipahami sebagai agama perlawanan dan pembebasan ini memiliki titik temu (konvergensi) dengan cita-cita yang diperjuangkan oleh komunisme. Pada akhirnya, mereka secara sadar menjadikan komunisme sebagai wadah atau mesin penggerak dari perjuangan yang sesungguhnya berbasis pada ajaran Islam dan pembelaan terhadap kaum yang lemah (kaum tertindas). Salah satu aktor utama dalam “sinkretisasi” ideologi dan aksi ini adalah Haji Misbach.

Haji Misbach, Haji Merah

Haji Misbach, yang dijuluki “Haji Merah,” lahir pada tahun 1887 di Kauman, Surakarta. Ia dikenal sebagai seorang muslim yang saleh (kaum putihan), alim, berani, memiliki watak revolusioner, dan sangat berkomitmen dalam menegakkan nilai-nilai Islam serta membela kaum tertindas. Komitmen ini terlihat jelas dari profesinya sebagai seorang mubalig (penceramah). Selain itu, ia juga mendirikan madrasah dan pusat pengajian di daerah Keprabon dan Kampung Sewu, yang semakin menegaskan identitasnya sebagai figur sentral kaum putihan Surakarta.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan