Konsep Solidaritas KH Abdul Chalim Leuwimunding

179 views

Jangan Jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan. Karena yang demikian itu merupakan kejahatan besar yang bisa meruntuhkan bangunan masyarakat, dan menutup pintu kebaikan di penjuru mana saja. (Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ariy)

KH Abdul Chalim menjadi salah satu kiai berperan aktif dalam pergolakan kemerdekaan pada tahun 1945-an bersama KH Wahab Hasbullah beserta kiai-kiai Nusantara lainnya. Sosok Kiai Abdul Chalim sulit dilacak jejaknya tanpa melihat buku atau referensi yang menjelaskan tentang peran dan sepak terjangnya sebagai tokoh pergerakan pada masa tersebut.

Advertisements

Sosok Kiai Abdul Chalim menjadi menarik untuk diteliti ketika sepak terjang salah satu putranya, KH Asep Saifudin Chalim, tengah “down to earth” di Indonesia bahkan peran Kiai Asep sangat penting bagi tumbuh kembangnya organisasi sayap Nahdlatul Uluma (NU), yaitu Persatuan Guru NU (Pergunu).

Kiai Asep, pengasuh Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto, merupakan salah satu putra Kiai Abdul Chalim yang konsisten memberikan perhatian khusus pada dinamika politik, pendidikan, kebudayaan, maupun sosial-keagaaman di Indonesia. Komitmen Kiai Asep tertuang jelas dalam visi pesantren yang dikelolanya, untuk mewujudkan manusia yang unggul, utuh, dan berakhlaqul karimah untuk kemuliaan dan kejayaan Islam dan kaum muslimin Indonesia.

Dari latar belakang itulah, saya menilai bahwa Kiai Asep memang mempunyai trah kiai besar yang memang aktif dalam perebutan kemerdekaan dan seluruh hidupnya menjadi milik bangsa Indonesia. Hidup hanya untuk berjuang menjadi komitmen serius Kiai Asep dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur.

Banyak sisi kehidupan Kiai Abdul Chalim yang harus diteliti lebih serius dengan pijakan sosialogis-antropologis. Kompleksitas masyarakat dengan pluralitas karakter manusia menjadi atensi Kiai Abdul Chalim dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan dari genggaman penjajah, ukhwah basyariyah dikonstruk dengan KH Wahab Hasbullah menjadi landasan sosiologis menciptakan tatanan masyarakat bermartabat.

Di sisi lain, etika Kiai Abdul Chalim sebagai seorang santri ketika belajar kepada Kiai Hasyim Asy’ariy di Hijaz menjadi argument filosofis bagamana idealnya membangun seni komunikasi dengan kalangan yang sangat mendewakan strata sosial saat itu. Nasionalisme, ide solidaritas maupun, konsep pengembangan pesantren dalam perspektif Kiai Abdul Chalim nyang belum terkodifikasi dengan apik menjadi tugas mereka yang ingin meneliti peran Kiai Abdul Chalim lebih dalam. Lebih-lebih civitas akademika Amanatul Ummah yang terus berbenah menjadi lembaga pendidikan unggul dan utuh seperti yang diekspektasikan oleh Kiai Asep.

Salah satu konsep pemikiran Kiai Abdul Chalim adalah pentingnya solidaritas seperti catatan yang disunting oleh Faisol Fatawi (2017;62), bahwa ide mengenai solidaritas masyarakat muslim khususnya di tanah jajahan Hindia Belanda ini didapatkan dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak dari daerah sekitar tanah kelahiran ketika kecil hingga ke daerah lain di Jawa Barat maupun Jawa Timur.

Solidaritas yang dianut oleh Kiai Abdul Chalim berlaku untuk semua kalangan baik kelompok kecil maupun besar. Solidaritas sangatlah penting dalam mempererat jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama maupun politik. Tujuan gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas politik. Dalam pandangan saya, konsep solidaritas Kiai Abdul Chalim bisa dikatakan utopis ketika yang disoroti adalah kesetaraan strata sosial.

Dalam pandang saya, solidaritas yang diusung Kiai Abdul Chalim tidak semata-mata solidaritas berujung pada kemanusiaan maupun ketentraman masyarakat bahkan negara. Tetapi, solidaritas yang mensinergikan nilai-nilai Islam dengan kondisi masyarakat yang masih jauh dari tatanan idealnya. Tentunya, solidaritas ini tidak menegasikan aspek-aspek sosial terdiri dari status, peran, kelompok, dan lembaga sosial.

Selanjutnya, prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar sesuai dengan kenetuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah agar tidak terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yaitu ritual semata. Kiai Abdul Chalim memberikan catatan khusus bahwa penyeimbangan ini dapat dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam seluruhnya tanpa memandang status sosial dalam masyarakat.

Solidaritas sendiri dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial. Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan kenegaraan dan kebangsaan. Sedangkan, solidaritas sosial-kemasyarakatan adalah kebersamaan yang diwujudkan oleh segenap umat Islam dalam menciptakan tatanan yang harmonis dan makmur.

Sehingga, konsekuensi logis dari konsep solidaritas sosial-politik adalah terselenggaranya kehidupan umat Islam dinamis bukan monoton yang masyarakatnya mempunyai paradigma bahwa nilai ibadah bukan hanya dari sisi ibadah ritual mahdah an sich. Tetapi, keseluruhan kehendak dan ikhtiar manusia untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip syariah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.

Oleh karenanya, peran Kiai Abdul Chalim dalam mengembangkan solidaritas sosial maupun politik dipengaruhi oleh eksistensi KH Wahab Hasbullah dalam mendidik serta memberikan arahan demi kemaslahatan umat Islam secara universal tanpa menghilangkan nilai-nilai dari pesantren. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan