Nahdlatul Ulama (NU) saat ini tengah berada di persimpangan jalan paling berisiko dalam satu dekade terakhir. Ketegangan internal yang melibatkan Rais Aam Syuriyah, KH Miftachul Akhyar, dan Ketua Umum Tanfidziyah, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), kini berkelindan dengan isu sensitif: penerimaan konsesi tambang oleh NU. Di tengah situasi ini, Musyawarah Kubro yang diselenggarakan Mutasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pesantren Lirboyo, Kediri, pada 21 Desember 2025, bukan lagi sekadar agenda konsolidasi, melainkan upaya “darurat moral” untuk menyelamatkan independensi dan masa depan demokrasi di tubuh NU.
Otoritas, Kuasa, dan Godaannya

Konflik antara Kiai Miftah dan Gus Yahya dapat dibaca secara filosofis sebagai tarik-ulur antara Auctoritas (otoritas) dan Potestas (kuasa). Dalam bukunya yang berjudul Between Past and Future (1961), Hannah Arendt menegaskan bahwa otoritas berakar pada penghormatan terhadap tradisi, sementara kekuasaan cenderung bersifat operasional.
Dalam struktur NU, Syuriyah adalah penjaga otoritas moral. Namun, ketika Tanfidziyah mengambil langkah strategis yang berisiko tinggi—seperti menerima konsesi tambang dari pemerintah—tanpa sinkronisasi batin yang utuh dengan Syuriyah, terjadilah retakan otoritas. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Islam Kosmopolitan (2007) selalu mewanti-wanti agar NU menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Bagi Gus Dur, kekuatan NU justru terletak pada kemandiriannya. Penerimaan tambang berisiko mengubah NU dari “kompas moral” menjadi “aktor korporasi”, yang pada gilirannya melemahkan posisi tawar ulama di hadapan negara.
Kritik tajam yang dilontarkan oleh KH Said Aqil Sirodj menambah bobot krusial dalam konflik ini. Beliau dengan lugas menyebut konsesi tambang bukan sebagai berkah, melainkan potensi “kutukan” dan “jebakan politik”. Pandangan ini selaras dengan teori Resource Curse (Kutukan Sumber Daya), namun dalam konteks organisasi keagamaan, kutukannya bukan sekadar ekonomi, melainkan “moral”.
Kiai Said mengkhawatirkan bahwa konsesi ini adalah instrumen kooptasi yang akan menjinakkan daya kritis NU. Jika NU sudah “berutang budi” karena memperoleh izin tambang dari penguasa, maka kemandirian organisasi dalam menyuarakan keadilan bagi rakyat kecil akan tersandera. Secara filosofis, peringatan Kiai Said ini beririsan dengan pemikiran Michael Sandel dalam bukunya What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets (2012).
Sandel berargumen bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tidak boleh dipasarkan karena akan merusak nilainya. Ketika lembaga agama (NU) mulai mengadopsi logika pasar ekstraktif (tambang), martabat moralnya terdegradasi menjadi sekadar kepentingan transaksional. Upaya Islah di Lirboyo harus mampu menjawab apakah NU akan terjebak dalam “jebakan politik” ini atau berani kembali pada jati dirinya sebagai organisasi ulama yang independen.
Konsesi Tambang dan Akibatnya
Analisis Kiai Said mengenai jebakan politik ini diperkuat oleh teori Jürgen Habermas tentang “Kolonisasi Dunia-Kehidupan” (Colonization of the Lifeworld) dalam buku The Theory of Communicative Action (1981). Habermas berargumen bahwa ketika logika sistem (uang dan kekuasaan negara) merembes masuk ke dalam dunia-kehidupan (agama dan komunitas moral), maka komunikasi yang tulus akan tergantikan oleh logika instrumental.
Penerimaan tambang membawa risiko “monetisasi” loyalitas. Jika pendanaan organisasi bergantung pada konsesi negara, maka demokrasi internal NU terancam oleh praktik klientelisme. Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) mengingatkan bahwa demokrasi bisa membusuk ketika institusi beralih menjadi alat distribusi patronase. Musyawarah Kubro harus memastikan bahwa NU tidak sedang menggadaikan otonomi sosio-politiknya demi pundi-pundi bisnis ekstraktif.
Lirboyo: Ruang Publik Deliberatif
Pemilihan Pesantren Lirboyo sebagai tuan rumah Musyawarah Kubro memiliki signifikansi simbolis yang kuat. Lirboyo adalah representasi kemurnian aspirasi kiai kultural. Di sinilah, musyawarah tersebut harus berfungsi sebagai “Ruang Publik Deliberatif”. Tujuan Musyawarah Kubro adalah melakukan audit moral atas langkah-langkah organisasi, termasuk soal tambang.
Ini sejalan dengan semangat Kiai Sahal Mahfudh dalam Nuansa Fiqh Sosial (1994). Bagi Kiai Sahal, setiap langkah besar organisasi harus diuji melalui dialektika maslahah al-ummah. Apakah tambang ini benar-benar untuk umat, atau justru membebani NU dengan konflik kepentingan jangka panjang? Lirboyo harus menjadi tempat di mana suara Syuriyah kembali didengarkan sebagai penentu arah (steering), bukan sekadar stempel bagi keputusan eksekutif yang sudah matang.
Islah dan “State of Exception”
Ketegangan antara pimpinan tertinggi menciptakan apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai State of Exception (2005)—sebuah kondisi darurat di mana aturan organisasi seolah kehilangan daya ikatnya. Dalam situasi “anomali” ini, para Mustasyar (Dewan Penasihat) telah menyuarakan ajakan Islah yang mendalam.
Seruan para Mustasyar adalah upaya untuk menarik kembali NU dari jurang polarisasi. Islah yang mereka tawarkan bukan sekadar seremonial bersalaman, melainkan proses rekognisi (pengakuan).
Mengacu pada Axel Honneth dalam The Struggle for Recognition (1995), Islah akan tercapai jika Tanfidziyah mengakui kembali supremasi moral Syuriyah, dan Syuriyah mengakui kebutuhan Tanfidziyah untuk kemandirian ekonomi, namun dengan syarat transparansi dan etika lingkungan yang tidak bisa ditawar.
Masa Depan Demokrasi
Konflik dua kubu ini menciptakan situasi di mana masa depan demokrasi di NU dipertaruhkan. Agar tidak terjebak dalam politik faksional, mereka harus merumuskan kembali aturan main organisasi seolah-olah mereka tidak tahu apakah mereka akan menjadi penerima manfaat tambang atau pihak yang dirugikan oleh dampak lingkungannya.
Demokrasi NU yang sehat adalah demokrasi yang mampu melakukan otokritik. Islah harus melahirkan kontrak sosial baru yang mempertegas bahwa otoritas Syuriyah tidak boleh dilangkahi oleh ambisi teknokratis Tanfidziyah. Jangan sampai konsesi tambang menjadi pemicu keretakan solidaritas persaudaraan (ukhuwah) antar-nahdliyin.
Musyawarah Kubro di Lirboyo adalah ujian sejarah. Jika NU berhasil melewati krisis ini dengan Islah yang bermartabat, maka NU akan tetap menjadi benteng terakhir demokrasi sipil di Indonesia. Namun, jika musyawarah ini gagal dan NU justru semakin larut dalam “jebakan politik” tambang, maka kita sedang menyaksikan redupnya fajar pencerahan agama di ruang publik.
Ajakan Islah dari para Mustasyar adalah kompas terakhir. Islah di Lirboyo harus memastikan bahwa NU tetap menjadi milik jamaah, bukan milik korporasi. Pada akhirnya, kejayaan NU tidak akan diukur dari seberapa besar lubang tambang yang dikelolanya, melainkan dari seberapa dalam ia mampu menggali nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan untuk menjaga martabat rakyat kecil—sebagaimana teladan yang diwariskan oleh Gus Dur dan Kiai Sahal.
