Kucing

71 views

Subhanallahil adzim subhanllahi wa bikhamdihi, demikian ucap kucing itu penuh kekaguman, namun yang terdengar oleh orang yang berdiri di hadapannya itu adalah ngeong. Padahal, demikian benak si kucing, hampir seharian ia hanya tidur di pojok risban di teras rumah orang itu, tetapi Gusti Allah Ta’ala—Dzat yang memelihara seluruh makhluk ciptaan-Nya—tetap memberinya rezeki lantaran orang itu berupa goreng ikan bandeng setengah potong. Sontak ia ngulet, meregangkan tubuhnya sembari mengucap bismillahirrahmaanirrahiim untuk kemudian mengunyahnya—memasukannya perlahan ke dalam perut yang sejak semalam memang kosong-melompong.

Apabila tanpa berusaha mencari rezeki, demikian benaknya sembari menjilati remah-remah daging ikan yang tercecer, ia tetap mendapat bagiannya, lantas buat apa berlelah-lelah berusaha mencarinya seperti yang dilakukan oleh beberapa ekor kucing temannya? Mereka tiap malam berburu tikus atau cicak di sekitar rumah warga. Malah, pada satu kejadian, seekor kucing pelah-peloh demi menangkap seekor cicak di hadapannya. Kucing itu telah berkali-kali melompat sembari menerkamkan cakarnya pada si cicak dengan keyakinan tingkat tinggi bahwa buruannya bakal kena. Akan tetapi, nyatanya ia tidak mendapat apa-apa. Padahal, selain dalam jangkauan lompatan dan terkamannya, cicak itu tidak lari ke mana-mana; tetap dalam posisinya beberapa jarak ke atas dari hadapannya. Untunglah, seekor kucing lewat situ dan memberitahunya bahwa cicak yang ia buru sebetulnya berada di dalam tetapi tampak dari luar karena cicak itu sedang menclok pada sebuah benda tembus pandang alias transparan yang oleh manusia dinamakan kaca.

Advertisements

Demikianlah, rampung makan dan tidak lupa mengucap hamdalah ia berniat kembali tidur. Akan tetapi, rasa seret yang mengganjal kerongkongan menyeret tubuhnya menyat untuk mencari air di sekitar sumur. Seusai terpenuhi hajatnya, ia berjalan kembali, tetapi di tengah perjalanan—dari balik jendela kamar yang terbuka orang itu sedang menikmati ngaji online—ia mendengar suara orang bercerita, dan karena yang diceritakan tentang seekor kucing, maka kemudian kucing itu duduk nglemprak di bawah jendela, mendengarkan alias batal mendengkur.

***

Sudah dua hari setengah dan hampir-hampir tiga hari orang itu tidak memberikan makanan padanya. Kucing itu mulai berpikir yang bukan-bukan, apakah si orang tidak lagi menyukai kehadirannya di serambi rumahnya? Atau si orang mulai tidak suka berbagi sedikit makanan dengannya? Kemudian, rasa lapar yang sangat menjadikan satu sisi dalam benak menyuruhnya untuk menyelinap ke dalam rumah, mencuri makanan yang boleh jadi oleh si orang disembunyikannya. Akan tetapi, sisi lain batinnya sekonyong-konyong mencegahnya. Kemudian, ketimbang melenakan pikiraannya berkembang kian parah terhadap si pemilik rumah atau malah tak kuat menahan godaan untuk mencuri makanan, ia menyat untuk kemudian berjalan gontai seperti ayam jago yang kalah berlaga.

Di luar dugaan si kucing, tidak lama setelah ia melangkah, si orang keluar dari dalam rumah dengan membawa sepotong goreng ayam untuknya. Bahkan, si orang sempat memanggilnya dengan suara yang umum digunakan oleh manusia terhadap kucing, yakni ci ci ci ci beberapa kali, tetapi sayangnya, bising sepeda motor yang berurutan melintas di jalan depan rumah orang itu menjadikan si kucing tidak mendengar panggilannya.

Kendatipun ada sedikit penyesalan dalam benak orang itu karena batal memberi makanan pada si kucing, ia segera menepisnya. Karena, bagaimanapun, Gusti Allah Ta’ala yang Maha Tahu—mengetahui segala sisi lahir maupun sisi batin seluruh makhluk ciptaan-Nya—tahu bahwa ia telah berniat berbuat baik terhadap sesama makhluk dan semoga Gusti Allah Ta’ala menyuruh malaikat-Nya mencatat niat tersebut sebagai amal baiknya. Dan, kendatipun, niat tadi tidak terlaksana, selanjutnya ia menaruh goreng ayam tersebut dekat batang pohon kelengkeng yang tumbuh subur di pekarangan depan rumahnya. Kali ini ia niatkan sebagai sedekah yang boleh jadi nanti kucing itu kembali lalu menemukannya atau ditemukan oleh kucing lainnya. Atau jikapun tidak ada seekor kucing yang menemukannya, mungkin akan dinikmati oleh semut atau binatang lainnya yang berhabitat di pekarangannya. Sementara, lantaran sedekah tersebut ia berharap semoga Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pemurah—membalas amal hamba-Nya yang sedikit dengan balasan yang berlimpah ruah—menerima dan memberinya pahala yang ia hadiahkan untuk ayah-ibunya yang telah meninggal dunia.

Di luar dugaan si kucing, sebetulnya orang itu amat menyukainya. Atau lebih tepatnya menyukai hampir semua kucing, apa saja. Hanya, kesukaan tersebut sekarang tidak sedalam pada tahun-tahun sebelumnya. Saat masih kecil ia suka memelihara kucing, bahkan selain suka bermain-main dengan anak-anak kucingnya, saat tidur ia mengeloni mereka. Sebelum tidur ia acap mencarikan cicak-cicak yang berkeliaran di dinding-dinding rumahnya atau rumah tetangganya dengan cara menyamplukkan sarung yang ia gulung atau menjepretkan karet ke arah cicak tersebut, sementara kucing-kucingnya menanti di sekitarnya untuk kemudian menangkap si cicak dengan riang-gembira.

Beberapa tahun kemudian, saat ia mulai dewasa dan tidak lagi memelihara kucing, salah satu keponakannya yang berumah di sebelah rumahnya memelihara seekor kucing yang mana kucing tersebut acap menyelinap lewat jendela—yang lebih sering dibiarkan terbuka—dan betah tidur di kamarnya—dengannya. Dan, dengan kucing itu ia pernah mengalami satu peristiwa yang, menurutnya, sungguh luar biasa. Suatu pagi, saat terbangun ia mendapati bercak-bercak warna merah seperti darah pada seprei kasurnya. Rada panik ia memeriksa anggota tubuhnya, barangkali ada yang terluka, tetapi ia mendapati dirinya dalam keadaan utuh—utuh seutuh-utuhnya. Kemudian ia mengamati sekeliling, cemas pada kucing tersebut terjadi apa-apa. Akan tetapi, ia tidak menemukannya. Yang ia temukan malah sepotong daging segar dengan sisa-sisa darah di antara lipatan seprei yang ia periksa kemudian: daging seekor tikus, rupanya.

Mula-mula ia rada kesal, hal ini pasti kelakuan kucing tersebut yang tidak menghabiskan buruannya. Namun, sepengetahuannya saat kucing tersebut mendapatkan seekor tikus, tidak pernah memakannya di dalam rumahnya. Hingga sekonyong-konyong ia berpikir bahwa boleh jadi itu adalah cara si kucing berbagi, membalas kebaikannya yang acap memberi makanan dan mengelus-elusnya. Pada titik ini, perasaannya terenyuh: betapa seekor binatang pun membalas jasa. Kelak, seorang temannya yang juga sama suka memelihara kucing bercerita suatu kejadian yang hampir sama. Dan mereka sepakat kejadian itu mungkin adalah cara seekor kucing membalas budi orang yang menyayanginya.

Sekarang kesukaan orang itu pada kucing tersalurkan sekadar lewat mengelus-elusnya atau jika ada lauk goreng ikan atau ayam ia berbagi dengan kucing yang tampak di sekitar rumahnya.

***

Seperginya dari rumah itu, mula-mula si kucing hendak berkitaran di sekitar rumah warga kampung itu yang telah ia hafal sebagai penyuka kucing, siapa tahu di antara mereka ada yang memberi makanan padanya.

Akan tetapi, saat ia mendekat ke sebuah rumah, sekonyong-konyong suatu pertimbangan melintas dalam benaknya, bagaimana kalau ia tidak diberi; bukankah hal ini selain memperparah kondisinya juga kian memperkuat godaan untuk mencuri? Maka, ia segera membelokkan kaki, menuju entah masih dengan langkah gontai.

Kemudian, satu dorongan cukup kuat mengentak benaknya, kenapa ia tidak mencari makanan sendiri? Sebagaimana dulu kerap ia lakukan saat belum mendapati orang-orang yang kepada kucing suka berbagi.

Selanjutnya melintas dalam benaknya, boleh jadi karena pemberian orang-orang ia jadi suka bermalas-malasan. Disusul kemudian, kenapa ia malah menyalahkan mereka yang boleh jadi ikhlas berbagi dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan?

Semakin dalam ia merenungkan—sembari berjalan tanpa tujuan—ia mendapati bahwa yang menjadikannya belakangan malas mencari makanan sendiri adalah semacam rasa putus asa yang terbit setelah berusaha keras mencarinya tetapi ia tidak mendapatkannya. Seperti pada beberapa kejadian, ia telah mati-matian mengejar-ngejar seekor tikus yang lari dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya, tetapi ia tidak dapat menangkapnya. Memang, tidak selalu ia tidak mendapatkan buruannya. Bahkan, pada beberapa kejadian, dengan begitu mudah ia mendapatkannya. Seperti pada suatu malam saat ia melintasi teras rumah seseorang, seekor cicak yang sedang merayap di dinding memburu nyamuk yang berseliweran di sekitarnya, sekonyong-konyong jatuh ke lantai yang kemudian dengan amat mudah dapat ia tangkap—boleh jadi karena panik atas kehadirannya.

Akan tetapi, subhanallahil adzim subhanallahi wa bikhamdihi—demikian ucapnya—saat teringat bahwa sering kali di malam setelah ia lelah berburu makanan tetapi tidak mendapatkannya, tak lama kemudian ia mendapat rezeki di luar dugaan. Seperti menemukan sepotong goreng ikan yang dibuang atau malah sengaja disedekahkan oleh seseorang dengan cara menaruhnya di pekarangan. Atau siangnya menemukan banyak sisa-sisa goreng ayam di sekitar rumah yang usai atau sedang mengadakan hajatan. Atau juga saat ia berjalan, sekonyong-konyong ia dipanggil dengan ungkapan khas manusia pada kucing, lalu memberinya makanan.

Pada titik ini ia mulai berpikir bahwa mungkin Gusti Allah Ta’ala menghendakinya—sebagai makhluk ciptaan—untuk selalu berusaha, sedangkan soal rezeki—dengan cara apa ia diberi—adalah urusan yang memberi rezeki, yakni Gusti Allah Ta’ala. Juga apabila sekali waktu ia diberi rezeki dengan cara berusaha mencarinya dan di waktu yang lain tanpa berusaha sama sekali bukankah ini menunjukkan bahwa atas segala sesuatu Gusti Allah Ta’ala Maha Kuasa? Subhanallahil adzim subhanallahi wa bikhamdihi, kembali—kali ini berkali-kali—ia mengucapkannya.

Di samping itu, ia rasa ada satu keasyikan tersendiri saat ia berusaha berburu yang mana ia mengerahkan segenap potensi—baik tubuh maupun mental—yang ada pada dirinya; bukankah ini pun bentuk mensyukuri—dengan cara menggunakan—karunia yang dibekalkan oleh Gusti Allah Ta’ala padanya untuk menjalani hidup di dunia? Alhamdulillah, demikian ucapnya atas kesadaran tadi yang diberikan oleh Gusti Allah Ta’ala dalam benaknya. Juga, alhamdulillah, langkah kakinya mengantarkannya sampai ke halaman sebuah masjid yang tampak bertarub cukup besar di mana orang-orang pada duduk di kursi mendengarkan seorang kiai mulang ngaji—menerangkan hal-hal terkait agama.

Kemudian, ia menyelinap di antara kaki-kaki kursi itu, di mana dus-dus nasi yang sebagian terbuka menampakkan sisa-sisa goreng ayam di dalamnya. Seusai mengucap bismillahirrahmaanirrahiim, dengan cukup lahap ia memakannya, hingga kenyang terasa. Kemudian, rampung mengucap hamdalah, awalnya ia hendak pergi dari situ dengan segera. Akan tetapi, karena itu bertepatan dengan kiai tersebut mengawali satu hikayat yang menceritakan tentang seorang manusia dengan seekor burung—seekor binatang seperti dirinya—, ia jadi tertarik, dan kemudian sembari duduk nglemprak di kolong sebuah kursi ia menyimaknya dengan saksama.

Adalah Syaqiq al-Balkhi, demikian kiai itu bercerita, seorang saudagar kaya-raya yang juga seorang santri yang berguru pada Ibrahim bin Adham, seorang sufi ternama. Suatu hari dalam perjalanannya untuk berdagang ke negeri Syam, Syaqiq al-Balkhi mendapati seekor burung yang cukup memprihatinkan keadaannya. Si burung, selain sayapnya tampak cacat, matanya buta. Bagaimana cara si burung mendapat makanan, demikian Syaqiq al-Balkhi bertanya-tanya dalam benaknya. Tidak lama kemudian, tidak ia nyana, datanglah seekor burung mendekati burung itu yang ternyata memberi makanan padanya. Maka, atas apa yang disaksikan, untuk beberapa saat Syaqiq al-Balkhi terpana.

Sekembalinya dari Syam, Syaqiq al-Balkhi sowan menemui gurunya. Seusai menceritakan kisah burung tersebut pada gurunya, ia menyatakan bahwa ia akan berhenti berdagang demi fokus menjalankan ibadah kepada Gusti Allah Ta’ala dan ngaji kepadanya. Sementara soal rezeki—untuk memenuhi kebutuhannya—ia akan meniru burung tersebut, pasrah sepenuhnya kepada Gusti Allah Ta’ala, karena seekor burung yang cacat pun tetap diberi rezeki, apalagi dirinya yang seorang manusia.

Setelah mendengarkan muridnya dengan saksama, sembari tersenyum Ibrahim bin Adham menjawab, “Kenapa sampean mau meniru burung yang diberi makan, bukan burung yang memberinya makan? Bukankah tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah—memberi lebih baik ketimbang menerima?”

Syaqiq al-Balkhi mengangguk-angguk atas nasihat gurunya. Dan sejak saat itu ia mencontoh perilaku burung yang memberi makanan tersebut dengan cara kian giat berdagang, sementara sebagian keuntungannya ia sumbangkan untuk pesantren gurunya dan membantu sesama manusia.

Mendengar cerita tersebut, sekonyong-konyong kucing itu jadi teringat kisah yang ia dengar saat kembali dari sumur beberapa hari lalu:

Di atas atap sebuah masjid di Mesir, suatu hari Ibnu Absyad an-Nahwi menikmati makanan dengan teman-temannya. Tidak lama kemudian, datanglah seekor kucing sembari mengeong-ngeong mendekati mereka. Terdorong rasa kasihan seseorang di antara mereka memberi makanan padanya. Dan setelah mengambil makanan tersebut dengan mulutnya, si kucing meninggalkan mereka.

Tidak lama kemudian, saat mereka sedang kembali asyik menikmati hidangan, kucing itu datang kembali. Dan setelah seseorang di antara mereka memberinya makanan, ia mengambilnya lalu segera pergi.

Kejadian ini terulang sekali lagi, menjadikan mereka serempak heran, karena menurut mereka, makanan yang mereka berikan tadi lebih dari cukup untuk mengenyangkan perutnya. Kenapa si kucing masih saja bolak-balik ke situ dengan menampakkan geliat seperti meminta makanan pada mereka? Kendati demikian, seseorang di antara mereka tetap memberi makanan padanya. Dan setelah si kucing mengambil dan membawanya pergi, terdorong rasa penasaran mereka sepakat untuk membuntutinya.

Setelah beberapa waktu mengikuti, mereka mendapati kucing itu masuk ke dalam reruntuhan sebuah bangunan. Sesampai mereka di dalam, tampaklah seekor kucing buta yang mana di hadapannya terkumpul makanan-makanan yang tadi mereka berikan. Mereka kini mengerti, rupanya kucing itu mencarikan makanan untuk si kucing buta, dan hal ini menjadikan mereka terselimuti rasa haru penuh kekaguman.

Demikianlah, seiring merenungi dua cerita tersebut, timbul tekad yang cukup kuat dalam benak kucing itu untuk semangat berusaha semampunya mencari makanannya sendiri. Sementara soal apakah ia diberi rezeki saat sedang berusaha mencarinya atau malah di saat ia sedang tidak berusaha sama sekali, hal ini sepenuhnya ia serahkan kepada Dzat yang memberi dan menentukan rezeki seluruh makhluk ciptaan-Nya, yakni Gusti Allah Ta’ala. Kemudian, terbit niat dalam benak, kelak apabila diberi rezeki lebih dari cukup untuk kebutuhannya, maka ia akan berbagi dengan sesama. Dan, karena kini, banyak sisa-sisa goreng ayam di tempat ini, maka ia mengambil sebanyak yang dapat ia bawa untuk kemudian ia berikan pada sesama kucing yang membutuhkannya.

Doplangkarta, 21:18, 25 Mei 2022.

Ilustrasi: lukisan Jeihan Sukmantoro.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan