Suasana sore di pesantren Al-Firdaus selalu penuh dengan suara riuh para santri. Ada yang mengaji di serambi mushala, ada pula yang sibuk membersihkan asrama. Namun, di antara ratusan santri itu, ada satu nama yang selalu menjadi bahan cerita, Gus Hamdan.
“Eh, si Gus itu tidur lagi di kelas, tapi kalau ditanya sama Kiai Zain, jawabannya selalu pas,” bisik Fathur kepada temannya sambil menahan tawa.

“Iya, iya. Kayak orang yang punya ilmu laduni. Nggak usah belajar, tapi sudah ngerti semuanya,” sahut temannya, Mahbub, dengan wajah kagum.
Ilmu laduni. Kata itu sering diulang-ulang oleh para santri bila membicarakan Gus Hamdan. Menurut keyakinan sebagian orang, laduni adalah ilmu yang diberikan Allah langsung tanpa perantara, tanpa harus belajar. Dan itulah yang mereka lihat pada putra pengasuh pesantren, Kiai Abdul Karim.
Setiap pagi, kelas di pesantren dimulai pukul tujuh. Kitab kuning tebal terbuka di hadapan para santri. Ustaz Zain dengan suaranya yang berat menguraikan makna setiap kata, menghubungkan nahu, saraf, dan tafsir ulama klasik. Semua santri menunduk, serius mencatat. Semua, kecuali Gus Hamdan.
Di pojok kanan belakang, Gus Hamdan terlihat bersandar di dinding, matanya terpejam. Terkadang kepalanya oleng ke kanan, lalu ke kiri, hingga hampir jatuh menimpa kitab. Sesekali terdengar dengkuran halus yang membuat beberapa santri menahan tawa.
“Gus, jangan tidur, Gus,” tegur Fathur pelan.
Hamdan hanya mengangkat tangannya, lalu kembali memejamkan mata.
Namun anehnya, setiap kali ustaz melempar pertanyaan, “Hamdan, coba jelaskan kaidah pada halaman 23!”
Dengan tenang, sambil mengusap wajahnya yang baru saja bangun, Hamdan menjawab lancar, seolah ia mendengar seluruh penjelasan tadi. Para santri melongo. Ustaz Zain hanya tersenyum tipis, entah kagum, entah jengkel.
Cerita tentang keanehan itu menyebar cepat di antara para santri.
“Kalau sudah jadi Gus mah gampang. Ilmunya ngalir begitu saja,” kata seorang santri baru dengan penuh kagum.
“Aku dengar, dia itu sudah ‘didoakan’ sejak kecil. Makanya ilmunya langsung nyantol,” tambah yang lain.
Tak sedikit santri yang menjadikan Hamdan sebagai inspirasi sekaligus misteri. Mereka percaya, tidur di kelas pun tidak menghalangi datangnya ilmu kalau memang sudah punya kedekatan khusus dengan Allah.
Namun ada pula yang iri. “Coba kalau aku tidur begitu, pasti dicambuk ustaz. Tapi kalau Gus, dibiarkan saja,” keluh Mahbub.
Tetapi keluhan itu segera lenyap setiap kali mereka melihat Hamdan menjawab soal dengan begitu mudah, padahal mereka yang belajar mati-matian masih sering salah.
Apa yang tidak diketahui para santri adalah kehidupan Hamdan setelah jam belajar selesai.
Ketika semua santri sudah terlelap di asrama, Hamdan diam-diam duduk di serambi rumahnya. Di hadapannya terbuka kitab-kitab besar yang bahkan belum pernah disentuh oleh santri sebayanya. Ayahnya, Kiai Abdul Karim, duduk di sampingnya dengan wajah tegas.
“Coba ulangi syarah yang tadi siang. Jangan hanya terjemah, tapi penjelasannya. Kalau salah, ulangi dari awal!” suara sang kiai keras dan tajam.
Hamdan menelan ludah. Suasana yang berbeda jauh dari kelas formal membuat tubuhnya tegang. Tidak ada kompromi di hadapan ayahnya. Kesalahan kecil saja membuatnya harus membaca ulang hingga larut malam.
Dan jika target hafalan tidak tercapai, hukumannya bukan main-main. Kadang ia disuruh menyalin kitab berlembar-lembar, kadang berdiri sambil membaca ayat tertentu, bahkan pernah tidak diizinkan tidur hingga tugasnya selesai.
Keringat bercucuran, mata perih, tapi Hamdan tidak berani membantah.
“Kalau kamu tidak bisa lebih baik dari santri lain, untuk apa kamu jadi putraku?” ujar Kiai Abdul Karim tegas.
Kalimat itu menusuk hati Hamdan, sekaligus menjadi cambuk. Ia sadar, posisi sebagai putra pengasuh pesantren bukanlah keistimewaan, melainkan beban berat.
Keesokan harinya, saat kembali ke kelas, Hamdan tetap seperti biasa. Tidur, malas-malasan, seolah tak peduli dengan pelajaran. Padahal di balik itu, ia sudah mengulang materi berkali-kali semalaman bersama ayahnya.
Santri lain mengira ia memiliki karamah ilmu laduni. Padahal yang sebenarnya terjadi, ia menanggung disiplin keras yang tak pernah diketahui siapa pun.
Ada kalanya Hamdan iri melihat teman-temannya bisa bermain bola setelah belajar, tertawa lepas tanpa beban. Sementara ia harus kembali berhadapan dengan kitab tebal dan ayah yang galak.
Namun, ia memilih diam. Tidak ada gunanya menjelaskan. Biarlah semua mengira ia mendapatkan ilmu begitu saja.
Suatu hari, ujian tahunan diadakan. Semua santri tegang, menunduk, berdoa sebelum lembar soal dibagikan.
Hamdan, seperti biasa, duduk santai. Beberapa santri meliriknya dengan rasa iri. “Pasti Gus Hamdan tinggal nunggu ilham. Kita yang susah payah belajar saja belum tentu bisa.”
Namun begitu ujian dimulai, Hamdan menulis cepat, tenang, dan lancar. Jawabannya rapi, penuh dalil, dan nyaris tanpa kesalahan.
Ketika hasil diumumkan, Hamdan mendapat nilai tertinggi. Santri-santri makin yakin, “Benar kan? Ilmu laduni!”
Sorak sorai memenuhi kelas, sementara Hamdan hanya tersenyum hambar.
Malam itu, di serambi musala, beberapa santri mendekati Hamdan.
“Gus, tolong kasih tahu rahasianya. Kok bisa, padahal njenengan sering tidur?” tanya Fathur penuh penasaran.
“Iya, Gus. Apa benar njenengan punya ilmu laduni?” tambah Mahbub dengan mata berbinar.
Hamdan terdiam lama. Matanya menatap jauh, seolah menimbang-nimbang. Lalu ia menarik napas dalam.
“Kalian salah,” ucapnya pelan namun tegas.
Santri-santri saling pandang, bingung.
“Ilmu itu bukan datang begitu saja. Apa yang kalian lihat hanyalah permukaan. Kalian melihat aku tidur di kelas, tapi kalian tidak melihat malam-malamku. Kalian mengira aku tidak belajar, padahal setiap malam aku harus mengulang pelajaran di hadapan Ayahku. Jika aku salah, hukumannya berat. Kalau aku tidak mencapai target, aku tidak boleh tidur.”
Wajah para santri mendadak pucat.
“Ilmu laduni?” Hamdan tersenyum getir. “Itu hanya kata-kata kalian. Yang sebenarnya ada hanyalah jerih payah, doa orang tua, dan pengorbanan yang tidak pernah kalian lihat. Jadi jangan pernah iri pada orang lain sebelum tahu apa yang mereka jalani.”
Suasana hening. Angin malam berhembus pelan. Santri-santri itu tertunduk, malu pada prasangka mereka.
Hamdan menutup kitabnya dan berdiri. “Kalian punya kesempatan yang sama. Belajarlah sungguh-sungguh. Jangan berharap jalan pintas. Ilmu hanya akan datang kepada mereka yang bersungguh hati.”
Malam itu, cerita tentang “ilmu laduni” Gus Hamdan mulai pudar. Para santri menyadari, di balik ketenangan dan misteri yang mereka kagumi, tersimpan perjuangan yang jauh lebih berat daripada yang mereka sangka dan liat dengan mata kepala mereka sendiri.
Sejak malam itu, Gus Hamdan tetap menjadi sosok yang dihormati, tetapi dengan pemahaman berbeda. Ia bukan lagi dianggap sebagai pemilik ilmu yang turun dari langit begitu saja, melainkan teladan tentang kesungguhan, ketekunan, dan pengorbanan.
Pesantren Al-Firdaus pun kembali riuh seperti biasa, tapi setiap kali melihat Gus Hamdan yang tampak santai, para santri teringat bahwa di balik kesederhanaannya, tersimpan perjuangan yang tidak tampak.
Karena pada akhirnya, ilmu bukanlah hadiah instan, melainkan hasil dari kerja keras yang terkadang tak terlihat oleh mata.
Sumber ilustrasi: tiktok, santri salafi.
