Lailatulqadar: Antara Kepastian Ilahi dan Ijtihad Ulama

16 views

Setiap Ramadan tiba, ada satu malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan. Lailatulqadar, begitu kita mengenalnya, menjadi misteri yang selalu menggoda rasa ingin tahu umat Islam.

Bukan hanya soal keutamaannya, tetapi juga kapan tepatnya malam ini terjadi. Ulama dari berbagai mazhab telah berijtihad, mencari petunjuk dari Al-Qur’an dan hadis, namun hasilnya tetap beragam.

Advertisements

Apakah ini bagian dari kepastian ilahi yang memang sengaja dirahasiakan? Atau justru ruang bagi manusia untuk terus berikhtiar dalam ibadah?

Dalam Al-Qur’an, Lailatulqadar disebut sebagai malam penuh berkah, malam turunnya para malaikat, dan malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS. Al-Qadr: 1-3). Namun, yang menjadi perdebatan adalah kapan malam itu terjadi.

Rasulullah SAW, pernah bersabda bahwa Lailatulqadar berada di sepuluh malam terakhir Ramadan, khususnya pada malam-malam ganjil. Tetapi, beliau tidak menyebutkan tanggal pastinya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatulqadar jatuh pada malam ke-27 Ramadan, dengan dalil dari hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Ubay bin Ka‘ab bersumpah atas dasar petunjuk Rasulullah bahwa malam itu terjadi pada tanggal tersebut.

Ada juga ulama yang mengatakan malam ke-21, ke-23, atau ke-25, berdasarkan berbagai riwayat lainnya. Imam Syafi’i, misalnya, berpendapat bahwa malam itu berpindah-pindah setiap tahunnya, sehingga tidak selalu jatuh pada tanggal yang sama. Di sinilah menariknya Lailatulqadar.

Jika memang pasti jatuh pada satu tanggal, mungkin sebagian orang hanya akan beribadah penuh di malam itu dan mengabaikan malam lainnya. Tetapi dengan ketidakpastian ini, umat Islam justru didorong untuk terus meningkatkan ibadah di sepanjang sepuluh malam terakhir.

Dalam fikih, ada dua pendekatan dalam memahami Lailatulqadar. Pertama, mereka yang berusaha meneliti tanda-tanda malam tersebut berdasarkan dalil-dalil syar‘i dan pengalaman para ulama.

Beberapa hadis menyebutkan bahwa Lailatulqadar ditandai dengan suasana malam yang tenang, langit cerah tanpa hawa panas maupun dingin, serta matahari pagi yang terbit tanpa sinar menyilaukan.

Ini menjadi semacam clue bagi mereka yang ingin mencermati kapan malam itu terjadi.

Pendekatan kedua adalah pasrah pada ketetapan Allah. Ulama seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Al-Ghazali menyebutkan bahwa hikmah dari dirahasiakannya Lailatulqadar adalah agar manusia tetap konsisten dalam beribadah.

Jika malam itu ditetapkan secara pasti, manusia cenderung hanya beribadah pada malam itu dan melupakan malam-malam lainnya. Allah ingin melihat kesungguhan hamba-Nya, bukan hanya menunggu satu malam penuh keistimewaan.

Alih-alih sibuk mencari kapan pastinya Lailatulqadar, lebih baik kita mengambil pelajaran dari cara Rasulullah menghadapinya. Dalam banyak riwayat, Rasulullah semakin giat beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan.

Iktikaf di masjid, memperbanyak doa, membaca Al-Qur’an, serta memperbanyak istighfar adalah amalan yang bisa kita lakukan. Bahkan, beliau membangunkan keluarganya untuk ikut serta beribadah, menunjukkan bahwa ini adalah momentum yang tak boleh disia-siakan.

Fikih mengajarkan bahwa dalam perkara ibadah, niat dan konsistensi lebih penting daripada sekadar mencari kepastian waktu.

Jika kita benar-benar mengharapkan keutamaan Lailatulqadar, maka yang terpenting bukanlah mengetahui tanggalnya, tetapi bagaimana kita mengisinya dengan amal ibadah yang berkualitas.

Lailatulqadar tetap menjadi rahasia ilahi yang menuntut kita untuk berijtihad dalam ibadah. Mungkin, ketidakpastian ini adalah cara Allah menguji keikhlasan kita. Apakah kita hanya mengejar pahala di satu malam tertentu, ataukah kita benar-benar ingin mendekat kepada-Nya setiap saat?

Di tengah perdebatan ulama tentang kapan Lailatulqadar terjadi, satu hal yang pasti: malam ini adalah kesempatan emas bagi kita untuk memperbaiki hubungan dengan Allah.

Jadi, daripada sibuk menebak tanggalnya, lebih baik kita fokus memperbanyak ibadah dan berharap agar Allah menganugerahkan kita kemuliaan malam tersebut. Sebab, bukankah yang lebih penting bukan sekadar mengetahui, tetapi benar-benar menghidupinya? Selamat menunaikan ibadah ramadan.

Cabeyan, 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan