Kampung itu selalu berbeda setiap kali bulan Rabiulawal tiba. Dari kejauhan, jalan tanah yang biasanya gelap seperti terowongan kini bercahaya. Bukan cahaya listrik—kampung itu masih akrab dengan malam yang gulita—melainkan penerangan dari minyak tanah yang ditampung dalam botol kaca, digantung di antara pohon pisang dan bambu. Cahaya-cahaya kecil itu bertemu, menjelma samudra bintang yang berpendar di bumi.
Anak-anak berlarian sambil membawa rebana kecil. Tangan mungil mereka menabuh sembarangan, tapi suara yang lahir tetap membuat dada bergetar: bunyi persiapan, bunyi kehidupan. Ibu-ibu sibuk di dapur surau, menyiapkan talam berisi apam, wajik, dan kolak pisang. Sementara itu dari ruang dalam surau, suara para lelaki tua terdengar membaca syair berirama, barzanji yang dilagukan dengan suara serak tapi hangat.

Di tepi jalan, seorang pemuda berdiri diam. Rasyid namanya. Matanya menatap pada deretan lampu minyak yang bergoyang diterpa angin. Bagi orang lain lampu itu simbol suka cita. Tapi bagi Rasyid, lampu itu menyimpan luka.
Setahun lalu di malam Maulid yang sama, ayahnya wafat. Ketika pulang dari surau selepas acara, ayahnya jatuh di jalan. Kehabisan napas tanpa sempat pamit. Orang-orang bilang ajal memang rahasia, tak bisa ditawar. Namun bagi Rasyid, sejak malam itu cahaya Maulid terasa seperti cahaya yang merampas: ia mengambil sosok yang paling berarti dalam hidupnya.
“Besok malam Maulid,” suara ibunya membuyarkan lamunan. Perempuan renta itu menepuk bahu anaknya dengan lembut. “Jangan lupa hadir. Bapakmu dulu selalu ada di barisan depan.”
Rasyid hanya mengangguk samar. Lidahnya kelu. Sejak kepergian ayah, ia tak lagi sanggup menjejakkan kaki ke arak-arakan Maulid. Baginya, apa arti menyalakan seribu lampu, kalau satu cahaya yang paling ia kenal justru padam selamanya?
Tahun ini perayaan Maulid terasa berbeda. Bukan hanya karena Rasyid enggan, tapi karena kampung terbelah oleh perdebatan. Di rumah-rumah panggung orang bercakap dengan nada panas. Sebagian ingin agar arak-arakan tetap digelar, lampu dinyalakan, syair dilagukan. Mereka percaya, Maulid bukan sekadar pesta—ia adalah tali yang mengikat kampung agar tetap utuh. Cara sederhana menjaga teladan Nabi tetap hidup dalam ingatan.
Namun sebagian lain menolak. “Boros. Bid’ah. Menghamburkan tenaga,” begitu kata Paman Zubair, adik ayah Rasyid.
Baru dua tahun ia pulang dari perantauan, membawa keyakinan yang lebih keras. Baginya mengenang Nabi cukup dengan memperbanyak salat dan doa, tanpa keramaian.
“Untuk apa kue apam bertalam-talam?” ujar Zubair suatu sore di balai kampung. “Untuk apa janur dipasang, lampu dipajang, rebana dipukul? Itu hanya menghibur mata, menipu telinga. Nabi tidak mengajarkan ini.”
Beberapa orang mengangguk, merasa mendapat alasan. Tapi lebih banyak yang resah.
“Kalau kita hentikan Maulid,” sahut Pak Tua Imam, “maka putuslah alasan orang kampung berkumpul. Kau ingin kampung ini sunyi? Kau ingin anak-anak tumbuh tanpa tahu bagaimana Nabi dilahirkan?”
Debat itu menular ke rumah-rumah. Ada bisik-bisik, ada sindiran, ada pandangan mata yang mendadak asing. Ibu Rasyid merasa tersayat. “Adik iparmu itu keras sekali,” keluhnya. “Padahal bapakmu dulu selalu jadi panitia Maulid.”
Rasyid mendengarkan, tapi hatinya pun bimbang. Ia sendiri sudah lama enggan. Baginya, Maulid identik dengan kehilangan. Kini perayaan itu justru memecah kampung. Seolah cahaya yang mestinya mengikat malah jadi api yang membakar.
Malam yang ditunggu tiba. Udara kampung penuh aroma minyak tanah, bunga kenanga, dan keringat manusia. Lentera sudah dinaikkan di bambu tinggi. Anak-anak berbaris dengan rebana di tangan. Orang-orang tua bersiap melagukan syair.
Rasyid berdiri di depan rumah, bimbang. Ibunya keluar dengan wajah lelah tapi penuh harap. “Ikutlah, Nak. Walau hanya berjalan di belakang. Jangan biarkan bapakmu hilang begitu saja dalam ingatan.”
Tatapan itu membuat Rasyid tak kuasa menolak. Dengan langkah berat, ia masuk dalam arak-arakan. Di kiri-kanan cahaya lampu bergetar seperti hati yang gelisah.
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad” suara syair mulai bergema. Rebana dipukul perlahan, melahirkan irama yang memantul di antara pohon kelapa. Arak-arakan berjalan menyusuri jalan tanah menuju surau.
Namun di simpang jalan, keributan menanti. Paman Zubair berdiri bersama beberapa orang, mengadang rombongan. Suaranya lantang menusuk malam.
“Hentikan! Untuk apa semua ini? Lihat berapa minyak terbuang hanya untuk lampu! Lihat berapa uang habis demi kue-kue! Bukankah lebih baik dipakai membantu fakir miskin?”
Rombongan terhenti. Anak-anak berhenti menabuh rebana. Suara syair mendadak putus. Angin bertiup membuat api lampu bergoyang, seakan ikut gentar.
“Ini bukan pesta,” balas Pak Tua Imam, wajahnya merah. “Ini pengikat hati kami. Apa kau hendak padamkan cahaya yang sudah turun-temurun menjaga kampung ini?”
Perdebatan memanas. Suara selawat bersaing dengan suara protes. Orang-orang mulai berteriak, sebagian mundur, sebagian maju. Dalam riuh itu, seorang anak kecil tersandung dan menabrak bambu yang menggantungkan lentera. Api jatuh menyambar janur kering di pinggir jalan.
Api kecil itu menjalar cepat. Jeritan terdengar. Orang-orang panik, berlarian mencari air. Rasyid spontan menerjang. Tanpa pikir panjang, ia menepuk api dengan tangannya sendiri. Lidah api menjilat telapak tangannya, membuat kulit melepuh. Tapi api padam.
Semua terdiam. Napas Rasyid memburu, tangannya perih, wajahnya pucat. Hening mendadak menguasai malam. Dalam hening itu hanya suara jangkrik yang terdengar. Lentera bergoyang pelan, bayangan wajah orang-orang bergetar.
Ibu berlari menghampiri, membalut tangan anaknya dengan kerudung. Air matanya jatuh tanpa suara. Pak Tua Imam menunduk. Paman Zubair terdiam, pandangannya kosong. Api yang nyaris melahap hiasan itu seperti menampar semua orang: ternyata yang mereka jaga hanyalah perdebatan, sementara cahaya hampir musnah karena amarah.
Rasyid duduk di tanah, menahan sakit. Ia tidak berkata-kata. Hanya menatap lampu yang masih menyala di bambu. Dalam tatapannya, ada sesuatu yang berubah: kesadaran—mungkin—atau kerelaan.
Suara barzanji perlahan terdengar lagi, lirih seperti bisikan doa. Tidak ada yang menyuruh. Seorang lelaki tua mulai melagukan syair dengan suara bergetar, lalu yang lain ikut menyambung. Rebana dipukul pelan, bukan dengan riang, tapi dengan rendah hati. Arak-arakan tak dilanjutkan. Orang-orang memilih duduk melingkar di halaman surau. Mereka membaca syair bersama, suara naik-turun seperti ombak yang menyapu pantai sepi. Anak-anak tertidur di pangkuan ibunya. Lentera tetap menyala, cahayanya redup tapi hangat.
Rasyid menatap langit. Bintang-bintang bertaburan, namun tak seterang lampu minyak di sekelilingnya. Ia teringat ayahnya: wajahnya, tawanya, suaranya ketika memimpin rebana. Ia merasa ayah hadir di antara cahaya itu, bukan sebagai tubuh, tapi sebagai kenangan yang tak bisa dipadamkan. Tangannya sakit, tapi hatinya lega. Ia kini mengerti: Maulid bukan sekadar pesta, bukan sekadar tradisi. Ia adalah cara manusia menjaga cahaya agar tetap hidup sekalipun angin mencoba mematikannya.
Lampu-lampu bisa padam. Rebana bisa diam. Janur bisa hangus. Tapi cahaya Nabi tak pernah padam, karena ia tak disimpan di minyak atau sumbu, melainkan di hati manusia yang mau menjaganya.
Malam itu kampung belajar satu hal: bahwa cahaya bukan untuk diributkan, melainkan untuk diwariskan. Dan bagi Rasyid, malam Maulid itu bukan lagi malam kehilangan. Itu adalah malam ketika ia menemukan kembali ayahnya pada cahaya yang menyala di dalam dirinya sendiri.