Series Layangan Putus berhasil mengobati dahaga saya pada perfilman yang bernuansa romantika keluarga, penuh drama, dan penuh ketegangan. Kisah yang konon diangkat dari kejadian nyata tersebut rupanya berhasil menghipnotis para penonton yang seketika menaruh kebencian pada Aris dan Lydia, serta bersimpati pada Kinan. Alhasil, penonton terbagi menjadi dua kubu.
Akan tetapi, dari sekian episode Layangan Putus, ada satu hal yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas dan diperhatikan. Bukan perselingkuhan, bukan pula kepiawan Aris dalam menyembunyikan kebusukannya. Tapi bagaimana dalam setiap permasalahan yang terjadi, mereka tetap menyayangi anak dalam kondisi rumah tangga seperti apa pun.
Hal ini justru berbading terbalik dengan kisah-kisah yang saya temukan dalam kehidupan nyata dan di pesantren. Di mana anak selalu menjadi korban dalam pertengkaran dalam keretakan rumah tangga. Jika melihat mereka mendidik anak, saya teringat saat mengikuti pengajian dadakan yang digelar di pesantren mahasiswa semasa kuliah dulu.
Saat itu, seorang dosen salah satu fakultas agama di kampus menjelaskan bagaimana tata cara mendidik anak dalam Islam, dengan rujukan kitab Tarbiatul Aulad fi Islam karya Abdullah Nashih Ulwan.
Banyak sekali yang dibahas, namun sebagai santri yang begaajulan, saya tidak begitu banyak mencerna apa yang disampaikan. Hanya saja, beberapa poin penting berhasil sayang rangkum. Di antaranya adalah:
Seorang anak memiliki imitasi yang sangat besar. Karena hal itu, orang tua harus ekstra hati-hati dalam bertingkah laku di depan anak-anak mereka. Orang tua harus memberikan contoh pada anak-anak dengan perilaku yang baik dalam kehidupannya.
Sebagai salah satu tenaga pendidik di pesantren, ilmu mendidik santri menjadi hal yang sangat penting. Ibarat mendidik anak sendiri, keteladanan, kesopanan, dan pendidikan karakter harus saya kuasai agar kelak mereka bisa menjadi pribadi yang baik dengan ajaran-ajaran tersebut.
Sebab, setiap santri memiliki sifat, karakter, dan masalah yang berbeda. Sehingga sebagai seorang pendidik, saya harus menggunakan banyak formula yang sesuai dengan kondisi santri tersebut. Apalagi santri-santri yang baru duduk di kelas 7 tsanawiyyah.